Blogger Widgets
..:: Galau?! Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang ::..
Tampilkan postingan dengan label Bab Adab Kitabul Jami'. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bab Adab Kitabul Jami'. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 Maret 2016

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-16

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-16 | Adab Makan (Larangan Makan Berlebih-lebihan)


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Para ikhwan dan akhawāt yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita masuk pada hadits terakhir dari Bābul Ādāb dari Kitābul Jāmi' dari Kitab Bulūghul Marām.

وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( كُلْ, وَاشْرَبْ, وَالْبَسْ, وَتَصَدَّقْ فِي غَيْرِ سَرَفٍ, وَلَا مَخِيلَةٍ )  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَأَحْمَدُ, وَعَلَّقَهُ اَلْبُخَارِيُّ

Dari 'Amr Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, radhiyallāhu 'anhum (semoga Allāh meridhai mereka) berkata, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda,

"Makanlah dan minumlah dan berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa berlebihan (isrāf) dan tanpa kesombongan."

(HR Abū Dāwūd dan Ahmad dan Al-Imām Al-Bukhāri meriwayatkan secara ta'liq)

Kita tahu bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla asalnya menghalalkan bagi hamba-hambaNya seluruh perkara & rizqi yang baik.

Baik berupa makanan maupun minuman, pakaian, tempat tinggal, tunggangan/kendaraan dan seluruh kebaikan-kebaikan yang ada di atas muka bumi ini maka hukumnya adalah halal.

Allāh tidak akan mengharamkan bagi hamba-hambaNya kecuali yang mendatangkan kemudharatan, baik kemudharatan bagi agamanya, badannya, akalnya, harga dirinya atau bagi hartanya.

Dan hadits ini juga memperkuat akan hal ini bahwasanya seluruh perkara & kesenangan yang baik di atas muka bumi ini dihalalkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah menyatakan dalam Al Qurān :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ّ

"Dialah Allāh Subhānahu wa Ta'āla yang telah menciptakan bagi kalian seluruh yang ada di atas muka bumi ini."

(Al-Baqarah 29)

Asalnya seluruh yang baik-baik di atas muka bumi ini hukumnya halal, silakan dimanfaatkan.

Akan tetapi perkara-perkara yang baik tersebut terkadang-meskipun hukum asalnya baik-dirubah oleh Allāh menjadi hukumnya haram tatkala mencapai tingkatan saraf (berlebihan) dan makhyalah.

Oleh karena itu dalam hadits ini dilarang, tetapi ada syaratnya;

⑴ Tidak boleh berlebih-lebihan.
⑵ Tidak boleh karena kesombongan.

Dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyatakan dalam Al Qurān,

َكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا

"Makanlah dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan."

(Al-A'rāf : 31)

Oleh karenanya, makanan selama makanan itu baik maka silakan tapi dengan syarat tidak sampai derajat berlebih-lebihan dan tidak boleh dalam derajat kesombongan.

Apa bedanya antara saraf (berlebihan) dengan tabdzīr?

Para ulama mengatakan,

● TABDZĪR
• Berkaitan dengan kemaksiatan
• Lebih umum
• Misalnya:

⑴ Seseorang mengeluarkan hartanya pada hal-hal yang dilarang oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
⇒ Ini namanya mubadzdzir

⑵ Seseorang yang mengeluarkan hartanya berlebih-lebihan pada perkara yang halal.
⇒ Ini juga disebut dengan mubadzdzir

● SARAF
• Dikhususkan untuk perkara yang boleh.
• Misal: makanan & minuman yang halal (asalnya boleh, tetapi berlebih-lebihan)
• Bukan pada perkara yang maksiat, tetapi perkara yang boleh tetapi berlebih-lebihan.

Makanya Allāh mengatakan "Makanlah dan minumlah dan janganlah kalian berlebih-lebihan."

⇒ Berbeda dengan tabdzīr, kalau tabdzīr terkadang pada perkara yang boleh (isrāf) dan terkadang mengeluarkan uang pada perkara yang sia-sia atau haram.

Allāh berfirman,

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

"Dan sesungguhnya orang-orang yang melakukan tabdzīr adalah saudara-saudaranya syaithān." (QS Al-Isrā : 27)

Oleh karenanya silakan makan, minum dan bersedekah tapi jangan berlebih-lebihan dan juga karena kesombongan.

Karena bisa jadi;

◆ Makanan bisa menghantarkan pada sikap berlebih-lebihan (terlalu banyak atau terlalu mahal).

⇒ Sikap ini akan memberikan kemudharatan kepada tubuh.
⇒ Seluruh yang berlebih-lebihan akan memberi kemudharatan pada tubuh.

◆ Makanan juga bisa mengantarkan seseorang kepada kesombongan.

⇒ Seperti seorang sengaja membeli makanan yang mahal kemudian dia tampakkan (pamer) di hadapan teman-temannya kalau dia makan di restoran yang mahal, dia masukkan di status facebook/wa/bb-nya.

Buat apa? Sebenarnya dia hanya ingin pamer/sombong.

Padahal namanya makan yang penting kenyang, sesekali kita boleh makanan yang enak, tapi (kalau) terus-terusan kemudian makan yang enak tetapi terlalu mahal, maka ini termasuk makhyalah.

Apalagi niatnya untuk pamer/sombong maka ini diharamkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

وبالله التوفيق
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-15

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-15 | Adab Makan (Makan dan Minum dengan Tangan Kanan)


بسم اللّه الرحمن الرحيم

Kita masuk pada halaqah yang ke-18.

َوَعَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ (أخرجه مسلم)

Dari Ibnu 'Umar radhiyallāhu Ta'āla 'anhumā bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :

"Jika salah seseorang dari kalian makan, maka makanlah dengan tangan kanannya dan jika minum maka minumlah dengan tangan kanannya. Sesungguhnya syaithān makan dengan tangan kirinya dan syaithān minum dengan tangan kirinya pula."

(HR Imām Muslim)

Para ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā,

Sebagian ulama berpendapat bahwasannya makan dan minum dengan tangan kanan hukumnya hanya sekedar sunnah, tidak sampai pada derajat wajib karena ini berkaitan dengan masalah adab dan pengarahan.

Namun pendapat yang benar adalah bahwasanya makan dan minum dengan tangan kanan hukumnya adalah WAJIB, bukan sekedar sunnah, karena banyak dalil yang menunjukkan hal ini.

■ PERTAMA

Di antara dalil yang paling kuat adalah hadits ini, yaitu makan dan minum dengan tangan kanan dalam rangka untuk menyelisihi syaithān yang makan dan minum dengan tangan kiri.

Dan Allāh Subhānahu wa Ta'ālā memerintahkan kita untuk menyelisihi syaithān dan kita wajib untuk menyelisihi syaithān.

Kata Allāh Subhānahu wa Ta'ālā,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan."

(QS An-Nūr: 21)

Karena diantara sifat syaithān makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri, maka kita diperintahkan untuk menyelisihinya.

Ini juga dalil berkenaan dengan kita beriman dengan yang ghāib yaitu tentang syaithān.

Syaithan tidak dapat kita lihat akan tetapi kita meyakini bahwa syaithan juga makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri.

Di antara dalil yang menguatkan hal ini (bahwa syaithan makan dan minum) adalah bahwasanya dalam beberapa hadist Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yang menyebutkan tentang dampak dari makan dan minumnya syaithān yaitu buang air.

◆ Seperti dalam hadits disebutkan bahwasanya ada seseorang di sisi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan,

مَا زَالَ نَائِمًا حَتَّى أَصْبَحَ، مَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ، فَقَالَ: بَالَ الشَّيْطَانُ فِي أُذُنِهِ.

Bahwasanya orang tersebut ketiduran sampai pagi hari dan tidak bangun untuk shalat Shubuh. Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan bahwa syaithan telah kencing di telinga orang tersebut (ini sehingga tertidur pulas dan tidak mendengar adzan shubuh).

(HR Imām Al-Bukhāri)

Hadīts ini menunjukkan bahwasanya syaithān buang air kecil yang merupakan proses/hasil makan dan minumnya.

◆ Dalam hadits yang lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan bahwa syaithan buang angin.

Disebutkan bahwasanya tatkala orang hendak shalat maka syaithān akan mengganggu.

Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam,

إِذَا نُودِيَ لِالصَّلاَةِ ، أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ

Jika dikumandangkan adzan untuk shalat maka syaithan pun lari dan dia memiliki kentut dan buang angin.

(HR Bukhāri no. 583 dari shahābat Abū Hurairah)

Ini juga menujukkan bahwa syaithan makan dan minum kemudian buang air dan juga buang angin.

Kita beriman akan hal yang ghāib ini.

Jadi yang menunjukkan bahwa makan dan minum dengan tangan kanan adalah hukumnya WAJIB adalah karena kita diperintahkan untuk menyelisihi syaithan yang makan dan minum dengan tangan kiri.

■ KEDUA

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkannya secara mutlak.

Contohnya ketika Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan,

يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ

"Wahai anak muda, sebutlah nama Allāh dan makanlah dengan tangan kananmu."

(HR Bukhari no. 5376 dan Muslim 2022)

■ KETIGA

Demikian juga, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah mendoakan keburukan bagi orang yang makan dengan tangan kiri. Dalam hadits Salamah bin Al Akwa radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu,
أن رجلا أكل عند رسول الله صلى الله علية وسلم بشماله . فقال : " كل بيمينك " قال : لا أستطيع . قال : " لا استطعت " ما منعه إلا الكبر . قال : فما رفعها إلى فيه .

Ada seorang yang makan di sisi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan tangan kiri, maka Beliau mengatakan, "Makanlah dengan tangan kananmu."

Kata orang tersebut: "Saya tidak bisa makan dengan tangan kanan."

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mendoakan keburukan bagi orang ini, Beliau mengatakan: "Engkau tidak akan mampu, sesungguhnya tidak menghalanginya kecuali karena kesombongan."

Maka orang ini pun tidak mampu mengangkat tangan kanannya untuk makan setelah itu, dia selalu menggunakan tangan kirinya.

(HR Muslim no. 2021)

Kenapa? Karena dia tidak mau menggunakan tangan kanan dan karena dido'akan keburukan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Kalau perkara makan dengan tangan kanan hanyalah sunnah (tidak wajib) maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak akan mendo'akan keburukan bagi orang ini.

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā,

Diantara perkara yang perlu kita perhatikan adalah,

● ⑴ Bahwa yang merupakan perkara ta'abbud (ibadah) adalah makan dan minum dengan tangan kanan.

Adapun menggunakan sendok atau sumpit untuk makan maka ini merupakan perkara adat istiadat.

Yang penting, tatkala kita menggunakan sumpit atau sendok tersebut kita menggunakannya dengan tangan kanan.

Perkara yang perlu saya ingatkan juga adalah:

● ⑵ Mengenai minum dengan tangan kiri.

Kebiasaan sebagian orang tatkala sedang makan kemudian merasa tangan kanannya kotor maka dia pun memegang gelas dengan tangan kiri kemudian minum dengan tangan kiri tersebut.

Ini merupakan perkara yang diharamkan (tidak boleh), meskipun tangannya kotor harus memegang gelas tersebut dengan tangan kanan, nanti toh gelas tersebut akan dicuci juga.

Maka, jangan gara-gara takut gelasnya kotor maka kemudian minum dengan tangan kiri karena ini mengikuti cara syaithan.

● ⑶ Jika seseorang makan dengan menggunakan dua tangan misalnya, tangan kanannya memegang sendok dan tangan kirinya memegang garpu.

Maka ingatlah, tangan kiri hanya sekedar untuk membantu tapi tatkala mengangkat makanan hendaknya dengan tangan kanan.

Jangan sampai karena menggunakan garpu dengan tangan kirinya, kemudian dia makan dengan tangan kirinya juga, inipun diharamkan oleh para ulama karena mengikuti syaithan.

Demikianlah apa yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini.

وبالله التوفيق والهداية
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-14

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-14 | Adab Berpakaian (Hukum Isbal)


الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Kita masuk pada halaqah yang ke-17 tentang "Hukum isbal"

Dari Ibnu 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhumā beliau berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

َلَا يَنْظُرُ الله إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ (مُتَّفَقٌ عَلَيْه)

"Allāh tidak akan memandang orang yang menggeretkan (menjulurkan pakaiannya hingga terseret) pakaiannya karena sombong."

(Muttafaqun 'alaih, HR Imām Bukhāri dan Imām Muslim)

⇒ Lafazh "tsaub" (pakaian) pada مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ (orang yang menggeret/menjulurkan sehingga terseret pakaiannya) bermakna umum, yaitu kullu mā yulbas (setiap yang dipakai), mencakup sarung, celana, jubah atau pakaian apa saja.

Semuanya dilarang untuk dipakai jika panjang dan tergeret/terseret di atas tanah yang dilakukan karena sombong. Orang yang melakukan demikian, Allāh tidak akan melihat dia.

⇒ Dalam riwayat disebutkan, "Allāh tidak akan melihat dia pada hari kiamat", artinya Allāh tidak akan melihat dia dengan pandangan rahmat (kasih sayang).

Padahal kita tahu pada hari kiamat, hari yang sangat dahsyat dan mengerikan, seseorang sangat butuh dengan kasih sayang (rahmat) Allāh Subhānahu wa Ta'ālā. Orang yang isbal karena sombong akan tidak diperdulikan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'ālā.

Ini dalil bahwasanya isbal karena sombong merupakan dosa besar.

Para ulama bersepakat tentang keharamannya jika isbal dilakukan karena sombong.

Adapun jika isbal dilakukan dengan niat tidak karena sombong, hanya sekedar ikut gaya berpakaian maka ada khilaf di antara para ulama.

◆ Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwasanya isbal yang dilakukan tidak karena sombong maka hukumnya makruh, tidak sampai derajat haram.

Karena sebab pengharaman isbal oleh Allāh Subhānahu wa Ta'ālā adalah karena ada 'illah (sebab) nya, yaitu kesombongan.

Jika ternyata kesombongan tersebut tidak menyertai hati orang yang melakukan isbal maka hukumnya hanya sampai kepada derajat makruh, tidak sampai pada derajat haram.

Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama Syāfi'īyyah seperti Imām Syāfi'ī, Imām Nawawi dan yang lainnya.

◆ Adapun sebagian ulama memandang bahwasanya isbal meskipun tidak karena sombong maka hukumnya haram secara mutlak.

Dan ini merupakan pendapat madzhab Hanbali dan juga dipilih oleh Al-Qādhi'iyyat dan Ibnul 'Arabi dari madzhab Malikiyyah dan juga pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar dari madzhab Syāfi'īyyah.

Dan ini juga pendapat yang dipilih oleh ulama sekarang seperti Syaikh Al-Albani, Syaikh Abdul 'Aziz Bin Bāz dan Syaikh Shalih Al-'Utsaimin rahimahumullāhu Ta'ālā.

Kalau kita melihat secara dalil, maka dalil-dalil yang mengatakan isbal adalah haram secara mutlak adalah lebih kuat.

Diantara dalilnya adalah:

⑴ Hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:

فَإِنَّ إِسْبَالَ الإِزَارِ مِنَ الْمَخِيلَةِ

"Sesungguhnya isbal adalah termasuk dari kesombongan."

(HR Abū Dāwūd, Tirmidzi dan Imām Ahmad dengan sanad yang hasan)

Jadi isbal itu sendiri sudah termasuk kesombongan berdasarkan perkataan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

⑵ Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala menegur sebagian shahābat untuk tidak isbal (untuk mengangkat sarung mereka di atas mata kaki), Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak pernah bertanya kepada mereka terlebih dahulu.

"Apakah kau melakukannya karena sombong atau tidak? Kalau kau melakukannya karena sombong maka angkat, kalau tidak karena sombong maka tidak usah angkat."

Padahal masalah sombong adalah masalah hati dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala menegur para shahābat yang isbal untuk diangkat, tidak pernah bertanya-tanya, siapa saja ditegur oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

⑶ Kisah 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu ketika akan meninggal dunia.

Tatkala akan meninggal dunia datang seorang pemuda yang memuji 'Umar bin Khaththab radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, setelah lelaki tersebut memuji 'Umar kemudian pergi dan dipanggil lagi oleh 'Umar. Kemudian 'Umar berkata:

ارْفَعْ ثَوْبَكَ فَإِنَّهُ أَنْقَى لِثَوْبِكَ وَ أَتْقَى لِرَبِّكَ

"Angkatlah pakaianmu, sesungguhnya (jika engkau tidak isbal) maka itu lebih bersih bagi pakaianmu dan lebih bertaqwa kepada Rabbmu."

(HR Bukhāri)

Lihat perkataan 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu dan 'Umar tidak bertanya, "Engkau melakukannya sombong atau tidak?". Akan tetapi langsung diperintahkan untuk mengangkat pakaiannya oleh 'Umar bin Khaththab radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu.

Kemudian diantara dalil bahwasanya isbal haram secara mutlak yaitu,

⑷ Tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan,

مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ

"Seluruh pakaian yang berada dibawah mata kaki maka di neraka Jahannam."

(HR Bukhāri no. 5787)

Hadits ini dipandang keumumannya bahkan oleh Ummu Salamah radhiyallāhu Ta'ālā 'anhā (salah seorang istri Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam).

Tatkala mendengar hadits ini, mereka khawatir kalau para wanita terkena juga ancaman ini. Padahal kita tahu bahwa para wanita tatkala mereka isbal sama sekali bukan karena sombong tetapi karena dalam rangka untuk tertutup aurat mereka.

Maka Ummu Salamah pun menanyakan hal ini kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam sehingga Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengizinkan dengan mengatakan:

يُرْخِيْنَ شِبْرًا

"Hendaknya mereka menjulurkan rok mereka sehingga dengan panjang 1 jengkal."

Maka Ummu Salamah masih berkata lagi:

إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ

"Kalau begitu nanti kaki-kaki mereka akan tersingkap."

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengizinkan dia menambah. Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam,

فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لا يَزِدْنَ عَلَيْهِ

"Tambah lagi, julurkanlah sehingga dengan jarak sehasta."

(HR Tirmidzi, dan lainnya)

Ini menunjukkan bagaimana semangatnya para wanita agar kaki-kaki mereka tidak tersingkap sehingga rok mereka dipanjangkan tergeret ditanah dengan panjang sehasta dan tidak boleh lebih lagi daripada ini.

Ini adalah dalil bahwasanya Ummu Salamah memandang isbal haram secara mutlak bahkan mencakup para wanita untuk isbal, namun datang dalil dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang mengecualikan para wanita.

Kalau memang isbal diharamkannya hanya karena sombong maka para wanita tidak perlu untuk khawatir masuk dalam ancaman tersebut, karena mereka memanjangkan rok mereka bukan karena sombong tapi karena agar tertutup aurat mereka.

Kemudian, para ulama yang menyatakan bahwasanya isbal adalah haram secara mutlak, baik sombong atau tidak sombong, menyebutkan hikmahnya dilarang isbal, diantaranya :

• ⑴ Bahwa ini adalah sikap berlebih-lebihan (israf). Seseorang tidak perlu memakai pakaian berlebihan apalagi sampai panjang sampai menjulur ke tanah.

• ⑵ Bisa menyebabkan kotoran mengenai bajunya, bisa juga ada kotoran yang lengket pada pakaiannya.

• ⑶ Ini termasuk pemandangan yang menarik perhatian, orang memakai pakaian kemudian pakaiannya terjulur di tanah.

Maka ini semua diharamkan.

Intinya para ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā,

◆ Isbal jika dilakukan karena sombong merupakan dosa besar dan ancamannya berat.

◆ Namun jika dilakukan tidak karena sombong maka dia lebih ringan dosanya dan ancamannya pun lebih ringan, akan tetapi isbal haram secara mutlak.

Dan para ulama tentunya sepakat bahwasanya di antara sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah memakai pakaian di atas mata kaki baik sarung, celana atau jubah bagi kaum lelaki.

والله تعالى أعلم بالصواب
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-13

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-13 | Adab-Adab Memakai Sandal (2)


بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, kita masuk pada halaqah yang ke-16, masih berkaitan dengan adab memakai sandal dari Kitābul Jāmi' Bābul Ādāb.

Al-Hāfizh Ibnu Hajar rahimahullāh membawakan hadits dari 'Ali bin Abī Thālib radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, beliau berkata:

َقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لَا يَمْشِ أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ, وَلْيُنْعِلْهُمَا جَمِيعًا, أَوْ لِيَخْلَعْهُمَا جَمِيعًا (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا)

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 'Janganlah salah seorang dari kalian berjalan memakai satu sandal saja, tetapi hendaknya dia memakai sandal kedua-duanya atau dia melepaskannya kedua-duanya'."

(HR Imam Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjelaskan kepada kita larangan memakai satu sandal. Hendaknya kita memakai dua-duanya atau melepas kedua-duanya, sebagaimana disebutkan dalam hadist Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam terkadang berjalan dengan tanpa memakai alas kaki.

Ini menunjukkan bahwa sesekali boleh kita berjalan tanpa menggunakan alas kaki sama sekali.

Adapun 'illah (sebab) kenapa kita dilarang memakai satu sandal saja, maka ada beberapa pendapat dikalangan ulama:

• Pendapat ⑴

Ada yang mengatakan bahwasanya kita dituntut untuk berbuat adil dalam segala hal termasuk berbuat adil terhadap anggota tubuh kita.

Maka kita tidak boleh memakai sandal hanya pada satu kaki, karena berarti kita tidak adil pada kaki yang satunya lagi.

• Pendapat ⑵

Ada yang mengatakan jika memakai satu sandal saja maka yang satunya dikhawatirkan akan terkena gangguan, seperti terinjak paku atau terkena duri.

Maka kita berusaha mengenakan sandal dua-duanya.

• Pendapat ⑶

Ada juga yang mengatakan bahwa 'illah (sebab)nya karena berjalan dengan satu sandal saja akan menarik perhatian, sedangkan kita diperintahkan untuk menjauhi "syuhrah", yaitu melakukan sesuatu yang bisa menarik perhatian dan menimbulkan ketenaran, apalagi ketenaran dal hal yang aneh-aneh seperti ini.

Kalau ketenaran yang disebabkan dengan memakai baju yang bagus yang tampil beda dibandingkan yang lain yang menarik perhatian orang-orang (libāsusy syuhrah) saja kita dilarang apalagi ketenaran yang disebabkan dengan hal yang aneh, seperti kita berjalan dengan satu sandal. Dan bisa-bisa kita dituduh dengan tuduhan yang tidak-tidak, misalnya dituduh orang gila atau orang stress.

Maka hal ini dilarang oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Islam menjaga adab, Islam menjaga kemuliaan seorang manusia.

• Pendapat ⑷

Sebagian ulama juga mengatakan bahwa diantara 'illah (sebab)nya karena hal ini meniru syaithān.

Dalam hadits yang shahih Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَمْشِي بِالنَّعْلِ اْلوَاحِدَة

"Sesungguhnya syaithān berjalan dengan satu sandal saja."

Sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh Imām Thahawi dalam Syarah Musykil Atsar dan disebutkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullāh dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah hadits no. 348

Kita harus beriman dengan hal ini bahwasannya syaithan juga memakai sandal dan berjalan dengan satu sandal.

Sebagaimana dalam hadits yang lain yang menyebutkan bahwa syaithan:
• Makan dengan tangan kiri
• Minum dengan tangan kiri
• Memberi dengan tangan kiri
• Menerima dengan tangan kiri

Dan kita diperintahkan untuk menyelisihi syaithan.

Kalau kita tahu bahwa syaithan berjalan dengan satu sandal maka larangan untuk berjalan dengan satu sandal semakin keras.

Dari sini, ada khilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama tentang hukum berjalan dengan satu sandal saja; apakah hukumnya haram atau hanya sampai pada derajat makruh saja.

Zhahir hadits ini menunjukkan hukumnya haram, tidak boleh seseorang berjalan dengan satu sandal saja, akan tetapi pakai keduanya atau lepaskan keduanya.

Akan tetapi banyak ulama yang menjelaskan bahwa hukumnya tidak sampai pada derajat haram tetapi hanya makruh.

Dan sebagian ulama menukil dari ijma' dalam hal ini, seperti Imām Nawawi rahimahullāh Ta'ālā yang mengatakan bahwa ijma' ulama mengatakan hukumnya makruh, demikian juga dengan ulama yang lain.

Dikatakan makruh dan tidak haram karena menurut mereka (para ulama diantaranya Imām Nawawi) bahwa ini adalah masalah adab (pengarahan) saja.

Maka segala permasalahan yang berkenaan dengan adab dan pengarahan tidak sampai haram tapi hanya sampai pada derajat makruh.

Adapun Ibnu Hazm Azh-Zhāhiri menyatakan bahwasanya berjalan dengan satu sandal hukumnya haram.

Wallāhu A'lam bish shawāb, apakah hukumnya haram atau makruh, akan tetapi kita hanya berusaha menjalankan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka kita tidak berjalan dengan menggunakan satu sandal, akan tetapi kita pakai dua-duanya atau kita lepas dua-duanya.

Semua penjelasan di atas dalam kondisi jika kita sedang berjalan.

Bagaimana jika dalam kondisi tidak berjalan? Misalnya sedang duduk kemudian memakai sandal yang kanan dulu kemudian yang kiri.

Tentunya ini tidak masalah karena yang dilarang adalah ketika sedang berjalan.

Adapun misalnya kita sedang berdiri di atas satu sandal sementara kaki yang satu lagi belum sempat kita pakaikan sandal/sepatu, maka inipun in syā Allāh tidak mengapa karena larangan dalam hadits Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berkaitan dengan seseorang yang sedang berjalan.

Wallāhu Ta'āla a'lam bish shawāb.

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-12

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-12 | Adab-Adab Memakai Sandal


بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhawat, kita masuk halaqah yang ke 15 dari Kitābul Jāmi' dari Bulūghul Marām, masih dalam Bābul Ādāb dan kita akan membahas tentang "Adab Memakai Sandal".

Al-Hāfizh Ibnu Hajar rahimahullāh membawakan hadits dari 'Ali radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu,

َوَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيَمِينِ, وَإِذَا نَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ, وَلْتَكُنْ اَلْيُمْنَى أَوَّلَهُمَا تُنْعَلُ, وَآخِرَهُمَا تُنْزَعُ

Beliau berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda, "Jika salah seorang dari kalian menggunakan sandal maka mulailah dengan menggunakan sandal bagian kanan. Jika dia melepaskan sandalnya maka hendaknya dia mulai dengan melepaskan sandal yang kiri terlebih dahulu. Maka jadikanlah yang kanan yang pertama kali dipakai dan jadikanlah yang kanan pula yang terakhir dilepas."

(Muttafaqun 'Alaihi)

Hadits ini adalah hadits yang shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya, diriwayatkan juga oleh Imām Mālik dan Abū Dāwūd.

Hadits ini merupakan salah satu dari kaidah umum yang disebutkan oleh para ulama yaitu,

Bahwasanya merupakan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah:

◆ Mendahulukan yang kanan dalam perkara-perkara yang baik.

◆ Menggunakan yang kiri dalam perkara-perkara yang buruk.

Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah radhiyallāhu Ta'ālā 'anhā dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), beliau berkata:

كان النبي صلى الله عليه وسلم يعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ في تَنَعُّلِهِ وَتَرجُّلِهِ و طُهُورِه وفي شَأْنِهِ كُلِّهِ (متفق عليه)

"Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam suka menggunakan (mendahulukan) yang kanan dalam memakai sandal, menyisir rambut, bersuci dan dalam segala perkara."

Ini dalil bahwasanya untuk segala perkara yang baik maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menganjurkan kita untuk mendahulukan yang kanan. Contohnya:

• Bersisir
• Memakai sandal
• Memakai baju
• Makan dan minum menggunakan tangan kanan
• Mengambil perkara-perkara yang baik menggunakan tangan kanan.

Bahkan disebutkan bahwa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala bertahallul, yang Beliau cukur adalah bagian kepala yang kanan terlebih dahulu baru kemudian bagian kepala yang kiri.

Adapun dalam perkara-perkara yang buruk maka kita mendahulukan atau menggunakan yang kiri. Contoh:

• Bersuci dari kotoran dengan menggunakan tangan kiri.
• Mengambil barang-barang yang kotor menggunakan tangan kiri.
• Masuk ke dalam WC mendahulukan kaki kiri.

Berbeda ketika kita masuk ke masjid, maka kita mendahulukan kaki yang kanan.
Dan demikianlah sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Diantara sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang hal ini (praktek dalam mendahulukan yang kanan dalam perkara yang baik & mendahulukan yang kiri dalam perkara yang buruk) adalah adab menggunakan sandal.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:

● Jika salah seorang dari kalian memakai sandal maka dahulukan yang kanan.

● Kalau dia melepaskan sandal maka hendaknya dia mendahulukan yang kiri.

Jadikanlah,

√ Sandal kanan yang pertama kali dipakai.

√ Sandal kanan yang terakhir kali dilepaskan.

Kenapa bisa demikian?

Karena menggunakan sandal merupakan perkara yang baik, merupakan karamah, perbuatan yang mulia yaitu menjaga kaki dari kotoran dan dari hal-hal yang bisa mengganggu, maka kita mendahulukan kaki kanan tatkala menggunakan sandal.

Sedangkan melepaskan sandal dari kaki adalah perkara yang kurang baik, karena kita menghilangkan penjagaan terhadap kaki.

Demikianlah sunnahnya.

Para ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'ālā,

Ini (memakai dan melepas sandal) adalah perkara yang kita lakukan setiap hari.

Kita cuek atau tidak cuek maka tetap saja kita menggunakan sandal dalam kehidupan kita sehari-hari.

Maka, kenapa kita tidak ingin mendapatkan pahala?

Caranya adalah;

◆ Tatkala memakai sandal kita niatkan menggunakan kaki kanan terlebih dahulu.

Tatkala memasukkan kaki kanan kita maka kita teringat sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka otomatis Allāh berikan pahala.

Kemudian,

◆ Tatkala kita ingin melepas sandal, maka kaki kiri dulu karena kita ingat sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Kebiasaan kebanyakan orang kalau memakai sandal mendahulukan kaki kanan dan melepaskan juga yang kanan dahulu (memakai dan melepaskan yang kanan dahulu)

Ini kurang sempurna sunnahnya.

Sunnahnya adalah;

√ Ketika memakai sandal mendahulukan yang kanan.

√ Ketika melepaskan mendahulukan yang kiri.

Barangsiapa yang melakukan ini maka dia akan ingat Sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Ini perkara kebiasaan saja, kita biasakan diri kita demikian maka pahala terus mengalir, toh kita tetap harus pakai sandal.

Masalahnya, kita pakai sandal dapat pahala atau tidak dapat pahala, toh kita tetap harus melakukan memakai sandal.

Tentunya yang lebih nikmat dan lebih baik kalau kita melakukan kebiasaan tersebut saat memakai sandal.

Dan kita dapat pahala dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla dengan menjalankan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Kemudian di akhir pembahasan saya ingatkan bahwasanya para ulama telah ijma' bahwa menggunakan sandal dengan mendahulukan kaki kanan hanyalah sunnah, tidak sampai pada derajat wajib.

Akan tetapi merupakan perkara yang tercela jika seseorang sengaja menggunakan sandal dengan kaki kiri terlebih dahulu setelah dia mengetahui sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Namun kita tidak dikatakan dia berdosa, tetapi kita hanya katakan dia menyelisihi sunnah dan dia perbuatannya buruk karena dia menyelisihi sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, akan tetapi tidak sampai derajat berdosa.

Karena mendahulukan kaki kanan dalam memakai sandal adalah sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dan tidak sampai pada derajat wajib, sebagaimana hal ini merupakan ijma' ulama.

والله تعالى أعلم بالصواب.
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته.

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-11

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-11 | Adab-Adab Minum


بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhawat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita masuk pada halaqah yang ke-13 dari Bābul Ādāb dalam Kitābul Jāmi' dari Kitab Bulūghul Marām.

Dan kali ini kita akan bahas tentang adab yang berkaitan dengan adab minum.

Al-Hāfizh Ibnu Hajar rahimahullāhu Ta'āla membawakan sebuah hadits, beliau berkata yaitu:

وَ عَنْهُ رضي اللّه تعالى عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا (أخرجه مسلم)

Dari Abū Hurairah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu beliau berkata: Rasūlullāh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

"Janganlah sekali-kali seorang dari kalian minum dalam kondisi berdiri".

(HR Imam Muslim)

Faidah dari hadits ini, zhahir hadits ini menunjukkan bahwasanya dilarang seseorang minum dalam kondisi berdiri, karena dalam kaidah ushul fiqh :

الأصل في النهي التحريم

"Bahwasanya hukum asal dalam larangan adalah pengharaman."

Oleh karenanya, sebagian ulama (seperti ulama zhāhiriyyah), mereka mengambil zhahir hadits ini, mereka mengatakan bahwasanya minum dalam kondisi berdiri hukumnya haram.

Artinya apa?

Jika seseorang minum dalam kondisi berdiri maka dia berdosa karena hukumnya haram.

Sementara jumhur ulama (mayoritas/kebanyakan ulama) membawakan hadits ini pada makna "tidak utama".

⇒ Artinya : Janganlah salah seorang dari kalian minum dalam kondisi berdiri karena itu tidak utama.

√ Yang utama seseorang minum dalam kondisi duduk.

Akan tetapi, boleh seseorang minum dalam kondisi berdiri.

Mayoritas ulama tatkala berpendapat demikian, mereka tidak memandang haramnya minum dalam kondisi berdiri. Mereka hanya memandang ini tidak utama jika seseorang minum dalam kondisi berdiri.

Kenapa?

Karena ada dalil-dalil yang lain yang menunjukkan akan bolehnya minum berdiri.

Contohnya seperti:

⑴ Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan juga Imam Muslim, dari Ibnu 'Abbas radhiyallāhu Ta'āla 'anhumā, beliau berkata:

سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ

"Aku memberikan kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam air minum dari zamzam maka Beliaupun minum air zamzam tersebut dalam kondisi berdiri."

Kemudian,

⑵ Hadits yang lain yang juga dalam Shahih Al-Bukhari, dari 'Ali bin Thālib radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, beliau pernah minum berdiri. Beliau diberikan air kemudian minum berdiri tatkala beliau berada di Kuffah.

Beliau berkata:

إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ قَائِمٌ. وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَمَا رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ

"Sesungguhnya orang-orang mereka tidak suka jika salah seorang dari mereka minum dalam kondisi berdiri. Sementara aku pernah melihat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melakukan apa yang pernah kalian liat aku melakukannya."

⇒ Artinya: Aku ('Ali bin Abī Thālib) pernah melihat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam minum berdiri sebagaimana kalian sekarang melihat aku minum berdiri.

Ini dijadikan dalil oleh jumhur ulama bahwasanya minum dalam kondisi berdiri hukumnya adalah boleh, terutama jika ada kebutuhan.

Ada khilaf di antara para ulama masalah ini tentang bagaimana mengkompromikan 2 model hadits ini.

• Ada hadits yang menunjukkan larangan, Nabi melarang untuk minum sambil berdiri.

• Ada hadits-hadits yang menunjukkan Nabi pernah minum berdiri bahkan dipraktekkan oleh 'Ali bin Abī Thālib radhiyallāhu Ta'āla 'anhu dengan minum berdiri.

■ Pendapat Pertama

Mengambil cara nasikh dan mansukh.

Kata mereka bahwasanya larangan-larangan yang menunjukkan minum untuk minum berdiri itu datang terakhir, sehingga memansukhkan hadits-hadits yang membolehkan minum berdiri.

Namun tentu ini pendapat yang tidak kuat. Kenapa?

Karena 'Ali bin Abī Thālib menyampaikan atau mempraktekkan dia minum berdiri tatkala beliau di Kuffah yaitu di masa Khulafaur Rasyidin, setelah wafatnya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Ini menunjukkan bahwasanya 'Ali bin Abī Thālib memahami hukum tersebut tidak mansukh.

Demikian juga ada yang berpendapat bahwasanya sebaliknya.

■ Pendapat Kedua

Hadits-hadits yang melarang minum berdiri dimansukhkan oleh hadits-hadits yang membolehkan untuk minum berdiri.

Akan tetapi 2 pendapat ini tidak kuat karena masalah nasikh dan mansukh butuh dalil yang lebih kuat, butuh dalil mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih terakhir. Dan tidak ada dalil yang menunjukkan hal ini semua.

Sebagian ulama juga berpendapat bahwasanya bolehnya minum berdiri hanyalah kekhususan Nabi, kalau kita sebagai umat Nabi tidak boleh minum berdiri.

Nabi khusus karena Beliau pada waktu berbicara melarang minum, Beliau berbicara dengan ucapan, mengatakan:

"Jangan salah seorang dari kalian minum berdiri".

Adapun tatkala Beliau minum berdiri adalah praktek, bukan ucapan.

Dan ini menunjukkan boleh minum berdiri adalah kekhususan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Ini dibantah juga oleh para ulama.

Kalau itu merupakan kekhususan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, kenapa dipraktekkan oleh 'Ali bin Abi Thalib?

Intinya pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama mengkompromikan/menggabungkan antara 2 model hadits ini bahwasanya:

Hadits yang melarang untuk minum berdiri itu dibawakan kepada khilaful awlā yaitu bahwasanya LEBIH UTAMA untuk tidak minum berdiri.

Namun BOLEH untuk minum berdiri berdasarkan dalil-dalil yang membolehkan terutama jika seseorang minum berdiri dalam keadaan hajat (kebutuhan/keperluan), maka perlu berdiri untuk minum, maka ini tidak mengapa.

Para ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Oleh karenanya, kita simpulkan dari pembahasan kita pada kesempatan kali ini bahwasanya:

● Sunnahnya seorang minum hendaknya dalam keadaan duduk, dia mendapatkan ganjaran dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

● Namun jika dia ada keperluan, dia boleh minum dalam keadaan berdiri.

Al-Hāfizh Ibnu Hajar pernah berkata:

إذا رُمْتَ تَشْرَبُ فاقْعُـدْ تَفُزْ بِسُنَّةِ صَفْوَةِ أهلِ الحِجـــازِ

"Jika kau hendak minum maka minumlah dalam keadaan duduk, maka kau akan mendapatkan pahala sunnahnya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, pemimpin Ahlul Hijāz."

وقـد صَحَّحُـوا شُرْبَهُ قائِماً ولكنه لبيانِ الجــــــوازْ

"Para ulama telah membenarkan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah minum dalam keadaan berdiri, akan tetapi Beliau minum berdiri tersebut untuk menjelaskan bolehnya minum berdiri."

Jadi kita umat Islam kalau ingin mengikuti sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam asalnya kita minum dalam keadaan duduk.

Namun jika ada keperluan (kebutuhan) boleh kita minum berdiri sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Demikian.

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-10

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-10 | Adab-Adab Bersin


الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Para ikhwan dan akhwat, kita masuk pada halaqah yang ke-13.

Dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: اَلْحَمْدُ الله, وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ يَرْحَمُكَ الله, فَإِذَا قَالَ لَهُ يَرْحَمُكَ الله, فَلْيَقُلْ يَهْدِيكُمُ الله, وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ ) أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ

"Jika salah seorang dari kalian bersin maka hendaknya dia mengatakan "Alhamdulillāh". Dan saudaranya yang mendengarnya mengucapkan "Yarhamukallāh". Jika saudaranya mengucapkan "Yarhamukallāh"maka yang bersin tadi menjawab lagi dengan mengatakan "Yahdikumullāh wa yushlihu bā lakum" (semoga Allāh memberi petunjuk kepada kalian dan semoga Allāh meluruskan/memperbaiki urusanmu."

(HR. Imam Al-Bukhari)

Hadits ini berkaitan tentang adab bersin dan adab orang yang mendengar bersin.

■ PERTAMA
Berkaitan dengan orang yang bersin.

Orang yang bersin, dia telah mendapatkan nikmat dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla sehingga tatkala dia bersin keluar kotoran dari tubuhnya. Dan dia merasa lebih ringan daripada dia bersin tersebut terpendam dalam dirinya.

Maka hendaknya dia mengucapkan "Alhamdulillāh".

Dan sebagian orang menyatakan bahwasanya bersin menunjukkan sehatnya seseorang.

Dia tidak berbicara tentang orang yang bersin melulu menunjukkan dia sakit, tidak!

Tapi kita berbicara tentang yang bersin terkadang yang dialami oleh seseorang.

Ini adalah nikmat yang menunjukkan tubuhnya sehat sehingga keluar dari tubuhnya hawa tersebut sehingga dia mengucapkan "Alhamdulillāh".

Dan ini peringatan bagi kita, kalau sekedar bersin kita dianjurkan untuk mengucapkan Alhamdulillāh, memuji Allāh atas nikmat tersebut, maka bagaimana lagi dengan nikmat-nikmat yang lain?

Oleh karenanya hendaknya sering kita memuji Allah, tatkala kita berdzikir Alhamdulillāh setelah shalat, benar-benar kita renungkan makna alhamdulillāh.

Bahwasanya terlalu banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita, yang terkadang kita lupa untuk bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, lupa untuk memuji Allāh Subhānahu wa Ta'āla yang memudahkan nikmat tersebut kepada kita.

Kemudian tatkala dia bersin, hendaknya dia memperhatikan adab sebagaimana Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala dia Rasūlullāh bersin.

Rasūlullāh kalau bersin;

√ Beliau neletakkan tangan beliau di mulutnya atau meletakkan bajunya sehingga tidak tersebar kemana-mana.

√ Kemudian Beliau melemahkan suara beliau tatkala bersin.

Oleh karena seseorang tatkala bersin jangan dia menggelegar dengan sekeras-kerasnya, kemudian lehernya/kepalanya dipalingkan ke kanan dan ke kiri sehingga tersebarlah virus-virusnya, tidak!

Tapi dia berusaha mengecilkan suaranya dan berusaha menutup mulutnya.

Ini adab dalam bersin sehingga dia tidak mengganggu orang lain.

Karena ada orang yang tatkala bersin sengaja menggelegar, sengaja. Ada orang yang tidak sengaja, tidak mampu menahan suaranya. Ini mendapat udzur. Tapi ada yang sengaja untuk melepaskan suaranya, ini tidak diperbolehkan.

Kemudian,

■ KEDUA
Adab orang yang mendengar tatkala mendengar seorang bersin.

Maka dia menjawab:

يَرْحَمُكَ اللهُ

[Yarhamukallāh]

"Semoga Allāh memberi rahmat kepada engkau."

Engkau telah mendapatkan nikmat maka semoga Allāh menambah rahmat kepada engkau.

Para ulama berbicara bagaimana kalau ada orang yang tidak mengucapkan Alhamdulillāh. Maka kita tidak mengucapkan Yarhamukallāh kepada dia.

Dalam hadits disebutkan:

عَطَسَ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشَمَّتَ أَحَدَهُمَا وَلَمْ يُشَمِّتْ الْآخَرَ ، فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ :(هَذَا حَمِدَ الله ، وَهَذَا لَمْ يَحْمَدْ الله)

Ada 2 orang yang bersin disisi Nabi maka Nabi mengucapkan Yarhamukallāh kepada satunya dan satunya Nabi tidak mengucapkan Yarhamukallāh.

Maka orang yang tidak diucapkan Yarhamukallāh protes;

يَا رَسُوْلُ اللهِ، سَمَّتْ هَذَا ، وَلَمْ تُشَمِّتْنِي

"Yā Rasūlullāh, engkau mengucap Yarhamukallāh kepada si fulan adapun kepada aku tidak?"

Maka Nabi mengatakan:

إِنَّ هَذَا حَمِدَ اللَّهَ, وَ لَمْ تَحْمَدِ اللّهَ

Si fulan tadi tatkala bersin mengucapkan Alhamdulillāh, adapun engkau tidak mengucapkan Alhamdulillāh.

(HR. Muslim)

Oleh karenanya kalau orang yang bersin tidak mengucapkan Alhamdulillāh maka kita tidak menjawab Yarhamukallāh.

Diriwayatkan dari Ibnul Mubarak rahimahullāhu, tatkala ada seseorang bersin di hadapan Ibnul Mubarak dan dia tidak mengucapkan Alhamdulillaah maka Ibnul Mubarak bertanya pada dia:

"Apa yang diucapkan oleh orang yang bersin?"

Orang ini pun mengatakan:

"Alhamdulillāh"

Maka Ibnu Mubarak kemudian mengucapkan "Yarhamukallāh", seakan-akan mengingatkan kepada orang tersebut, terkadang seseorang lupa mengucapkan Alhamdulillāh atau karena saking sibuknya lupa untuk mengucapkan Alhamdulillāh.

Maka boleh kita mengingatkan dia agar kita mengucapkan Yarhamukallāh kepada dia.

Kemudian,

Apa hukum mengucapkan Yarhamukallāh?

Ada khilaf di antara para ulama.
◆ Ada yang mengatakan fardhu 'ain, setiap orang yang mendengar harus mengucapkan Yarhamukallāh.

◆ Ada yang mengatakan fardhu kifayah, cukup sebagian orang yang mengucapkan Yarhamukallāh.

◆ Ada yang mengatakan sunnah secara mutlak.

Tapi kita berusaha menghidupkan sunnah ini, apa hukumnya sunnah, apakah fardhu kifayah atau fardhu 'ain, kita berusaha mengucapkan Yarhamukallāh kepada saudara kita yang bersin.

Kemudian setelah kita mengucapkan Yarhamukallāh maka orang yang bersin tadi mengucapkan:

يَهْدِيكُمُ الله, وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

[Yahdikumullāh wa yushlihu bā lakum]

"Semoga Allāh memberi hidayah kepadamu dan semoga Allah meluruskan urusanmu."

Balik mendo'akan orang yang telah mendo'akannya dengan berdo'a.

Sungguh indah adab yang diajarkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam; saling mendo'akan di antara sesama muslim, menghilangkan rasa hasad, menghilangkan rasa dengki.

Bayangkan jika seorang saling mendo'akan di antara mereka.

Dan ini mempererat tali ukhuwah di antara kaum muslimin. Sangat dituntut untuk mempererat tali ukhuwah (tali persaudaraan) di antara kaum muslimin.

Dan sangat dituntut untuk menghilangkan segala sebab-sebab yang bisa menumbuhkan perpecahan, perselisihan, buruk sangka dan yang lain-lainnya.

Terakhir sebelum kita tutup majlis kita yaitu pembahasan tentang:

BAGAIMANA ORANG YANG SAKIT YANG BERSIN BERULANG-ULANG?

Maka yang wajib bagi kita adalah untuk mengucapkan Yarhamukallāh sekali saja. Ada yang mengatakan sampai 3 kali disunnahkan, lebih dari itu tidak perlu.

Disebutkan dalam hadits Salamah ibnil Akwa radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, bahwasanya dia mendengar Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Ada seorang yang bersin di sisi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka Nabi mengatakan: "Yarhamukallāh".

ثُمَّ عَطَشَ أُخْرَ

"Kemudian orang ini bersin lagi."

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:

اَلرَّجُلُ مَزْكُوْمٌ

"Si fulan ini sedang sakit flu."

(HR. Muslim)

Oleh karenanya ini isyarat dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Kalau ternyata orang ini bersinnya tidak wajar, namun karena sakit maka kita rubah do'a. Do'anya bukan lagi Yarhamukallāh tapi kita mendo'akan:

شَفَاكَ اللهُ

[Syafakallāh]

"Semoga Allāh menyembuhkanmu."

Atau do'a-do'a yang berkaitan dengan orang yang sakit.

Demikian.

وبالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-9

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-9 | Larangan Mendahului Salam kepada Orang Kafir


السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ikhwān dan akhawāt sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita masuk pada halaqah yang ke-12, masih berkaitan tentang adab salam.

Dari 'Ali radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, beliau berkata:

قال رسول الله صلّى اللّه عليه وسلّم "لَا تَبْدَؤُوا اَلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلَامِ, وَإِذَا لَقَيْتُمُوهُمْ فِي طَرِيقٍ, فَاضْطَرُّوهُمْ إِلَى أَضْيَقِهِ"

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian mulai memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani. Dan jika kalian bertemu dengan mereka dijalan maka buatlah mereka tergeser ke jalan yang sempit.

(HR. Imam Muslim)

Ikhwān dan akhwāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, hadits ini dipermasalahkan oleh sebagian orang yang menjelaskan "Islam kok demikian?", "Kok mengajarkan sikap keras terhadap orang-orang kafir?"

Sebenarnya hadits ini tidak menjadi masalah karena kita menempatkan dalil-dalil sesuai dengan kondisinya.

Ada dalil-dalil yang menunjukkan bagaimana rahmatnya Islam. Dan terlalu banyak dalil yang menunjukkan bagaimana sikap Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam terhadap orang-orang kafir dengan muamalah thayyibah, dengan sikap yang baik dalam rangka untuk mengambil hati mereka.

Bahkan terhadap orang yang sangat membenci Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, 'Abdullāh bin 'Ubay bin Salūl, tatkala meninggal dia tidak punya kain kafan.

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan baju yang beliau pakai untuk dijadikan kain kafan bagi 'Abdullāh bin 'Ubay bin Salūl, padahal dia adalah:

• Gembongnya orang munafiq yang sering menyakiti Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dan juga keluarga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

• Yang telah memimpin untuk menuduh 'Āisyah telah melakukan berzina.

Akan tetapi Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bermuamalah dengan baik dengan dia.

Demikian juga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bermuamalah baik dengan orang-orang kafir seperti orang Yahudi yang pernah menjadi pembantu Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Maka tatkala sakit, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menjenguknya. Dan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mendakwahinya.

Dan terlalu banyak dalil bagaimana sikap lemah lembut dari kaum muslimin terhadap orang-orang kafir.

Ini bab tentang muamalah.

Maka seseorang berusaha untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir dalam rangka untuk mengambil hati mereka.

Tetapi dalam kondisi-kondisi lain, dimana tatkala kondisi menunjukkan Islam harus lebih tinggi, contohnya tatkala melewati suatu jalan maka seorang muslim ketika berjalan ditengah jalan, kemudian ada orang kafir lewat maka jangan kemudian dia minggir mempersilakan orang kafir.

Ini menunjukkan kehinaannya dia, tidak. Dia tetap berjalan karena dia berhak untuk jalan ditengah. Dia seorang Muslim, maka dia jangan mengalah.

Ini saatnya untuk seorang muslim menunjukkan memiliki 'izzah (kemuliaan), bukan malah lemah & loyo dihadapan semua orang.

Dan ini kadang terjadi, misalnya dalam suatu perkumpulan orang muslim malu berbicara, orang kafir terus yang berbicara.

Orang muslim tidak enak-tidak enak, orang kafir yang menguasai majlis.

Ini tidak benar. Ini saatnya menunjukkan Islam harus memiliki 'izzah (kemuliaan) dihadapan orang-orang kafir.

Oleh karenanya bab tentang muamalah hasanah bab tersendiri, adapun bab tatkala seseorang harus menunjukkan keutamaan Islam maka dia harus tunjukkan.

Ada beberapa point yang berkaitan dengan hadits ini.

• PERTAMA
Seorang muslim tidak boleh mendahulukan mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani.

Kenapa?

Karena salam itu menunjukkan pemuliaan dan juga ada do'a, dan yang penting ada do'a. Kalau kita mengucapkan "Assalaamu'alaykum" berarti kita mendoakan keselamatan bagi dia, dia tidak berhak untuk mendapatkan keselamatan.

Dia kafir kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, dia kafir terhadap Nabi Muahammad shallallāhu 'alayhi wa sallam, dia berbuat kesyirikan, bagaimana kita mengatakan keselamatan bagi kalian.

Maka kita tidak berhak, bahkan tidak boleh (bukan hanya tidak boleh) tidak boleh untuk mengucapkan salam lebih dahulu kepada mereka.

Akan tetapi kalau mereka yang dahulu memberi salam, maka kita menjawab. Kalau mereka mengucapkan "Assalaamu'alaykum". Kita jawab "Wa'alaykum" (demikian juga bagi kalian).

Namun para ulama menyebutkan, jika kondisinya ternyata sulit;

"Masa kita bertemu dengan orang-orang kafir kita tidak memberi salam sama sekali, nanti menunjukkan prasangka buruk kepada kaum muslimin."

Maka para ulama (banyak ulama) yang membolehkan. Tatkala Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, dan seperti ulama sekarang Syaikh Albani rahimahullāh. Jika kita bertemu dengan orang-orang kafir, misalnya mungkin bos kita, mungkin teman kerja kita, rekan kerja kita.

Maka kita tidak mengucapkan “Assalaamu'alaykum", kita menggunakan kata-kata salam yang lain, seperti kita mengatakan:

"Selamat pagi"

"Bagaimana kondisimu?"

"Good morning"

Seperti itu tidak jadi masalah, yang penting tidak ada do'a, karena "Assalaamu'alaykum" itu do'a yang tidak pantas untuk diberikan kepada orang-orang yang musyrik dan kafir kepada Allāh juga kafir kepada Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Demikian para ikhwān dan akhwāt yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Apa yang bisa kita sampaikan pada halaqah ke-12, akan lanjutkan pada halaqah berikutnya.

وبالله التوفيق
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-8

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-8 | Adab-Adab Memberi Salam dalam Rombongan


الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwān dan akhwāt,

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Kita masuk pada halaqah yang ke-11 dari Bābul Ādāb.

Hadits dari 'Ali bin Abi Thālib radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, beliau berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

ٍيُجْزِئُ عَنْ اَلْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوا أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ, وَيُجْزِئُ عَنْ اَلْجَمَاعَةِ أَنْ يَرُدَّ أَحَدُهُمْ

"Cukuplah jika ada sekelompok orang (sebuah jama'ah) jika melewati jama'ah yang lain, maka cukup salah seorang dari jama'ah yang lewat tersebut satu orang memberi salam sudah cukup. Dan sebaliknya, demikian juga jama'ah yang disalami maka cukup satu orang bagi mereka untuk membalas salam tersebut."

(HR. Ahmad dan Al-Baihaqi).

Para ikhwān dan akhwāt yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, hadits ini sanadnya lemah karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Sa'īd bin Al-Khuzā'i Al-Madani.
Dan dia adalah perawi yang dha'īf.

Al-Imam Al-Bukhāri menyatakan fīhi nazhar. Demikian juga Abū Hatim dan Abu Zur'ah mengatakan dha'īful hadits (haditsnya lemah). Kemudian juga Daruquthni mengatakan laysa bilqawiy (orangnya tidaklah kuat).

Oleh karenanya, secara sanadnya hadits ini adalah lemah. Akan tetapi Syaikh Al-Albani rahimahullāhu Ta'āla menyebutkan syawāhid yang menguatkan hadits ini (yang dimaksud dengan syawahid adalah hadits-hadits yang maknanya sama tetapi diriwayatkan dari shahābat-shahābat yang lain). Dan syawāhid tersebut seluruhnya sanadnya juga lemah.

Oleh karenanya Syaikh Al-Albani mengatakan:

لعل الحديث بهذه الطروق يتوقف فيسير حسنا

"Mungkin dengan banyaknya jalan-jalan yang lain daripada hadits ini maka hadits ini naik derajatnya menjadi hadits yang hasan."

Oleh karenanya hadits ini juga dihasankan oleh Syaikh Al-Bassam dalam kitabnya Taudhihul Ahkām.

Intinya, hadits ini wallāhu a'lam bishshawāb, ada yang mendha'īfkan dan ada yang menghasankan.

Hadits ini menjelaskan bahwasanya diantara adab yang berkaitan dengan memberi salam, yaitu jika ada sekelompok jama'ah yang melewati jama'ah yang lain maka cukup yang memberi salam satu, karena hukumnya adalah fardhu kifayah.

اذا قام به البعض سقط عن الباقين

Kalau seorang sudah melakukannya, maka yang lain tidak perlu lagi wajib untuk mengucapkan salam.

Demikian juga dalam hal menjawab salam, jika ada seorang datang kemudian memberi salam kepada jama'ah: "Assalāmu'alaykum!". Maka jama'ah tersebut tidak wajib seluruhnya untuk menjawab, tetapi satupun sudah cukup.

Akan tetapi kata para ulama mengatakan; seandainya mereka menjawab seluruhnya maka ini lebih baik, lebih afdhal.

Demikian juga seandainya mereka jama'ah ini seluruhnya memberi salam dengan suara ramai-ramai "Assalāmu'alaykum!". Maka ini juga lebih afdhal. Karena hadits:
أَفْشُوا السَّلامَ

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan: "Tebarkanlah salam."

(HR. Muslim dari shahābat Abū Hurairah).

Hadits ini umum, yang oleh karenanya siapa saja berhak untuk memberikan salam.

Oleh karena nya jika jama'ah ramai-ramai memberi salam atau jama'ah ramai-ramai menjawab salam maka ini lebih afdhal. Akan tetapi tidak wajib, yang wajib cukup 1 yang memberi salam dan wajib 1 menjawab.

Ini diantara adab salam yang diajarkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam hadits ini.

Kemudian ada adab yang lain yang mungkin kita perlu sampaikan juga.

Dalam Al-Qurān Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

"Jika kalian diberi salam dengan suatu salam maka jawablah dengan salam yang lebih baik atau yang semisalnya." (An-Nisā 86)

Ini penting yā ikhwān dan akhawāt, kalau kita bertemu dengan seorang saudara kita kemudian dia memberi salam: "Assalāmu'alaykum warahmatullāh wabarakātuh ", maka hendaknya kita menjawab dengan jawaban yang sempurna, kita mengatakan "Wa'alaykumussalam warahmatullāhi wabarakātuh".

Kalau dia mengatakan "Assalāmu'alaykum " kita bisa jawab "Assalāmu'alaykum" atau minimal kita tambah kita mengatakan "Assalāmu'alaykum warahmatullāh".

Jadi kita berusaha menjawab salam sebagaimana apa yang dia sampaikan atau lebih baik daripada apa yang dia sampaikan.

Demikian juga dalam secara lafal. Demikian juga dalam hal misalnya saudara kita datang memberi salam kepada kita dengan wajah tersenyum, dengan memandang kita maka kita berusaha memandangnya dan kita juga berusaha senyum dengan dia karena sebagian orang mungkin karena ada keangkuhan dalam dirinya jika ada yang memberi salam kepada dia maka dia jawab dengan tanpa senyum. Atau dia menjawab tanpa melihat orang yang memberi salam kepada dia.

Ini adalah keangkuhan, yā ikhwan...

Allāh mengatakan:

فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

"Jawablah dengan lebih baik atau yang sama."

Kalau dia senyum, minimal kita senyum. Kalau dia senyumnya berseri, kita berseri-seri. Harusnya demikian, ini adab yang diajarkan oleh Islam.

Oleh karenanya, seorang berusaha menebarkan salam, menjalankan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Dalam hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:

لا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلامَ بَيْنَكُمْ

"Kalian tidak akan masuk surga sampai beriman, dan kalian tidak akan beriman kecuali sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang suatu amalan yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai? Maka tebarkanlah salam diantara kalian."

(HR. Muslim dari shahābat Abū Hurairah).

Maka jangan malas kita untuk memberi salam. Ketemu saudara kita, kita beri salam, kita kirim salam kepada saudara kita.

Betapa keindahan yang masuk ke dalam hati seseorang tatkala dikatakan si fulan memberikan salam kepada engkau, kemudian kita mengatakan kirim salam balik kepada dia.

Ini semua dalam rangka meningkatkan ukhuwah, maka jangan angkuh untuk memberi salam dan jangan angkuh juga untuk menjawab salam.

وبالله التوفيق
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-7

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-7 | Adab-adab Memberi Salam


بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Kita masuk pada halaqoh yang ke-10 dari Bābul Ādāb dari Kitābul Jāmi' dalam Kitab Bulūghul Marām.

Al-Hāfizh Ibnu Hajar membawakan hadits dari Abū Hurairah radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu dimana Abū Hurairah berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لِيُسَلِّمِ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ, وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ, وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ

"Hendaknya yang muda memberi salam kepada yang lebih tua, yang berjalan hendaknya memberi salam kepada yang duduk dan yang sedikit memberi salam kepada yang banyak."

Muttafaqun 'alaih, diriwayatkan oleh Imām Bukhari dan Imām Muslim.

Kata Al-Hāfizh Ibnu Hajar:

وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِم: وَالرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِي

Dan dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim, kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, adalah yaitu yang berkendaraan hendaknya memberi salam kepada yang berjalan.

Hadits ini memberikan penjelasan tentang perkara yang sunnah tatkala bertemu 2 orang muslim atau sekelompok muslim dengan sekelompok yang lainnya.

Tentu indah Islam, mengajarkan yang satu memberi salam kepada yang lainnya karena diantara sunnah adalah

 أَفْشُوْا السَّلاَم

Menebarkan salam

Karena menebarkan salam akan menumbuhkan kedekatan ukhuwah islamiyyah dan menambahkan keimanan diantara kaum muslimin.

Diantara adab-adab dalam memberi salam, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengajarkan 4 adab:

■ PERTAMA

لِيُسَلِّمِ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ

Kalau bertemu antara yang muda dengan yang tua maka yang muda hendaknya yang dahulu memberi salam.

Dan ini menunjukkan akan penghormatan kepada yang tua, yang muda hendaknya menghormati yang tua. Dan yang tua tentunya harus sayang kepada yang muda.

■ KEDUA

وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ

Orang yang berjalan (yang sedang lewat) hendaknya dia beri salam kepada yang duduk.

Ini mengajarkan kesopanan, yang lewat memberi salam kepada yang duduk.

■ KETIGA

وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ

Yang jumlahnya sedikit tatkala bertemu dengan jumlahnya yang banyak, maka yang jumlahnya sedikit menghormati yang jumlahnya banyak dengan mendahului memberi salam kepada mereka.

■ KEEMPAT

 وَالرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِي

Yang naik kendaraan hendaknya memberi salam kepada yang sedang berjalan.

Kenapa sebagian ulama mengatakan demikian?

Karena orang yang naik kendaraan maka seakan-akan ada sesuatu rasa yang tinggi dalam hatinya, entah karena kendaraan yang mewah, bisa jadi, sementara yang berjalan kaki tidak diberi nikmat memiliki kendaraan oleh Allah.

Maka kata para ulama, diantara bentuk syukur dia kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, dimana telah diberikan kemudahan dengan diberi tunggangan/kendaraan maka hendaknya dia tawādhu' kemudian dia memberi salam kepada orang yang tidak diberi nikmat oleh Allāh berupa kendaraan.

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Ini semua dijelaskan oleh para ulama hukumnya sunnah. Artinya:

√ Boleh yang besar dahulu memberi salam kepada yang kecil.

√ Boleh yang sedang duduk memberi salam kepada yang berjalan.

√ Boleh yang jumlahnya lebih banyak memberi salam kepada yang jumlahnya lebih sedikit.

√ Boleh yang sedang berjalan memberi salam kepada yang naik kendaraan.

Namun, sunnahnya adalah sebaliknya. Jadi ini adalah hukumnya sunnah dan tidak wajib.

Terkadang yang lebih tua memberi salam kepada yang kecil dalam rangka untuk membuat dirinya tawādhu' dan dalam rangka untuk mengajarkan anak-anak kecil menghidupkan sunnah memberi salam.

Sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, merupakan sunnah kita mulai memberi salam kepada anak-anak kecil.

Dalam Hadits Anas radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى اللّه عليه وسلّم مَرَّ عَلَى غِلْمَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melewati anak-anak, dan Rasūlullāh memberi salam kepada mereka."

(HR. Muslim)

Ini mengajarkan agar anak-anak menjawab salam, bahwasanya agar sunnah memberi salam hidup. Dan ini untuk mengajarkan tawādhu' kepada kita.

Kita yang dahulu memberi salam meskipun mereka masih kecil (lebih muda), kita menunjukkan rasa sayang kita kepada mereka, maka kita yang dahulu memberikan salam sehingga menunjukkan tawādhu' yang ada pada diri kita.

Demikianlah ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, sebagian daripada adab salam, in syā Allāh kita akan lanjutkan pada kajian kita berikutnya.

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-6

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-6 | Anjuran Menjilati Jari Setelah Makan


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhwat, kita masih bersama Kitābul Adāb dari Kitābul Jāmi' yang terdapat di akhir dari Bulūghul Marām karangan Ibnul Hajar AsySyāfi'i rahimahullāhu Ta'āla.

Kita sekarang masuk pada halaqah yang ke-8,

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم: «إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا, فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ, حَتَّى يَلْعَقَهَا, أَوْ يُلْعِقَهَا». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. (١)

Hadits dari Ibnu 'Abbas radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu beliau berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

"Jika salah seorang dari kalian makan makanan jangan dia usap tangannya sampai dia menjilat tangannya tersebut. Atau dia menjilatkan tangannya tersebut. (Muttafaqun 'Alaihi)

Kata Ibnu Hajar diriwayatkan oleh Imām Bukhari dan Imām Muslim.

Ikhwan dan akhwat,

Hadits ini menjelaskan tentang salah satu adab daripada adab dalam memakan. Seorang yang makan hendaknya dia membersihkan makanan.

Dan ini adab Islam yang sangat indah agar kita dijauhkan dari sikap tabdzīr, dijauhkan dari sikap kufur kepada nikmat.

Bayangkan kalau makanan yang lezat belum habis kemudian kita cuci piringnya tersebut atau kita cuci tangan kita sehingga mengalirlah makanan tersebut bersama kotoran-kotoran.

Ini merupakan bentuk dari tidak bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Oleh karenanya, Islam mengajarkan kita untuk bersyukur atas segala nikmat yang Allāh berikan kepada kita.

Dalam hal makanan, kita berusaha menghabiskan makanan tersebut. Seorang makan sesuai dengan keperluannya.

Dan tatkala dia ambil makanan tersebut, maka dihabiskan, jangan sampai ada yang dibuang sehingga dia menjilat sisa-sisa makanan yang ada. Baik yang ada di tangannya ataupun yang ada di piringnya.

Maksud Nabi disini bukanlah tatkala sedang makan dijilat-jilat tangannya kemudian dia makan lagi apalagi tatkala sedang makan berjama'ah, tidak. Maksudnya di akhir tatkala selesai makan, selesai makan dibersihkan.

Karena dalam hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:

إِنَّكُمْ لاَ تَدْرُونَ فِى أَيِّهِ الْبَرَكَةُ

"Kalian tidak tahu dibagian mana makanan tersebut yang ada keberkahannya."

Tatkala makanan banyak dihadapan kita, Allāh meletakkan barakah di sebagian makanan tersebut. Kita tidak tahu dimana barakah tersebut, apakah di awal makanan kita, apakah ditengah makanan kita atau di akhir makanan kita.

Dan kalau pas kita mendapati keberkahan makanan tersebut maka ini akan berpengaruh dengan ibadah kita, keberkahan membuat kita sehat, diberkahi oleh Allāh makanan tersebut sehingga buat kita sehat, buat kita semangat untuk beribadah. Ini Allāh berikan keberkahan kepada makanan tersebut.

Maka seseorang berusaha untuk menghabiskan makanannya sehingga dia bisa pasti mendapatkan keberkahan makanan tersebut.

Karena diajarkan bagi kita untuk menjilat-jilat tangan kita yang masih bersisa-sisa makanan.

Demikian juga kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

أَوْ يُلْعِقَهَا

"Atau dia jilatkan kepada oranglain."

Maksudnya yaitu seperti antara suami dan istri. Diantara bentuk rasa cinta suami dan istri, istri terkadang menjilat tangan suaminya atau suami menjilat tangan istrinya.

Dan ini diantara perkara yang disunnahkan, tidak jadi masalah kalau mereka sedang makan, mereka saling suap menyuapi diantara mereka, atau saling jilat jari jemari mereka.

Atau antara ayah dengan anak.

Dan ini tidak mengapa dan diajarkan dalam Islam.

Oleh karenanya, jangan dengarkan perkataan sebagian orang yang merendahkan adab Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam masalah ini.

Mereka mengatakan:

"Apa itu Islam, kok adabnya buruk? Sampai menjilat-jilat jari. Ini adalah perkara yang menjijikkan."

Ini tidak benar.

Maksud Nabi bukan kita menjilat-jilat jari kita tatkala sedang makan bersama tengah makan.

Maka maksudnya adalah setelah di akhir makan, untuk menunjukkan rasa syukur kita kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Tidak ada sedikit makananpun yang kita buang, tapi semuanya kita makan.

Dan kita ingat, masih banyak orang-orang miskin yang kesulitan mendapatkan makan. Masih banyak orang miskin yang kelaparan.

Apakah kita kemudian makan kemudian ada sisanya lalu kita buang?

Seandainya sisa-sisa tersebut kita habiskan maka menunjukkan rasa syukur kita kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Demikianlah apa yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini.

وبالله التوفيق والهداية
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-5

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-5 | Adab-Adab Bermajelis


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Kita masuk pada halaqah yang ke-7 tentang Bābul Adāb.

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : "لاَ يُقِيْمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيْهِ، وَلَكِنْ تَفَسَّحُوْا وَتَوَسَّعُوْا." مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Ibnu 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhumā beliau berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: Janganlah seseorang memberdirikan saudaranya dari tempat duduknya kemudian dia gantikan posisi tempat duduk saudaranya tersebut, akan tetapi hendaknya mereka melapangkan dan merenggangkan." (Muttafaqun 'alaih)

Al-Hāfizh Ibnu Hajar: hadits ini diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan Imām Muslim.

Para ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Hadits ini kembali menjelaskan kepada kita tentang agungnya Islam. Bahwasanya Islam mengajarkan berbagai macam adab, diantaranya adab terhadap perkara-perkara yang dianggap sepele, seperti adab bermajelis, diatur dalam Islam.

Dalam hadits ini diajarkan 2 adab kepada kita;

• ADAB PERTAMA •

Adab yang berkaitan dengan orang yang datang terlambat di majelis.

Orang tersebut jika datang terlambat di majelis maka hendaknya dia duduk dimana tempat dia berada (tempat dia dapat), ada tempat yang lapang yang kosong maka dia duduk di situ.

Jangan sampai dia kemudian masuk ke tengah-tengah majelis melewati pundak-pundak orang atau memberdirikan seorang disuruh pergi kemudian dia menggantikan tempat duduk tersebut.

Ini tidak diperbolehkan siapapun orangnya, karena hal ini menunjukkan adanya keangkuhan dan Islam tidak menginginkan hal ini, Islam mengajarkan tawādhū'.

Kalau ada saudara kita yang sudah lebih dulu duduk ditempat tersebut maka bukan hak kita untuk membuat dia berdiri kemudian kita menggantikan posisinya duduk ditempat tersebut.

Jadi yang pertama berkaitan dengan adab yang datang orang yang terlambat datang dalam majelis.

• ADAB KEDUA •

Berkaitan dengan orang-orang yang sudah terlanjur lebih dahulu duduk.

Maka yang dianjurkan kepada mereka untuk melapangkan majelis, bahkan Allāh menyebutkan hal ini dalam Al-Qurān.

Kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ

"Wahai orang-orang yang beriman, jika dikatakan kepada kalian lapangkanlah/renggangkanlah majelis kalian, maka renggangkanlah/lapangkanlah majelis kalian, niscaya Allāh akan beri kelapangan pada kalian." (Al-Mujādilah 11)

Artinya kalau kita lihat saudara kita yang datang terlambat ingin masuk di majelis maka segera kita lapangkan dan berikan dia tempat agar dia bisa duduk menghadiri majelis kita bersama-sama.

Dan ini merupakan adab yang berkaitan dengan orang-orang yang sudah datang terlebih dahulu.

Demikian juga jika ternyata orang yang terlambat datang tadi mengatakan:

"Yā ikhwān, tafassahū, tolong berikan saya tempat, tolong berikan saya tempat."

Maka kita dengarkan ucapannya sebagaimana perintah Allāh tadi:

إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ

Jika dikatakan kepada kalian lapangkanlah/renggangkanlah maka lakukanlah, maka niscaya Allāh akan berikan kelapangan pada kalian.

Sungguh indah adab-adab Islam, mengajarkan bagaimana adab dalam bermajelis.

Para ulama juga menyebutkan majelis yang dimaksud dalam hadits ini adalah majelis umum yang berkaitan dengan kebaikan.

Oleh karenanya termasuk di dalamnya adalah misalnya:
• majelis dzikir
• majelis ilmu
• majelis pengajian
• majelis shalat Jum'at.
Orang-orang menunggu shalat Jum'at sementara majelis sudah full maka kalau masih ada tempat yang renggang maka hendaknya dia memberikan tempat pada saudaranya.

Ini menunjukkan saling cinta kasih diantara saudaranya, jadi ingin saudaranya juga menghadiri majelis kebaikan. Dia tidak ingin menyakiti hati saudaranya, dia berikan waktu kesempatan kepada saudaranya untuk ikut dalam majelis tersebut.

Ini semuanya menunjukkan akan indahnya Islam.

Yang jadi pertanyaan misalnya, ada seorang ustadz datang/hadir dalam majlis kemudian ada muridnya yang tidak enak sama ustadz tersebut kemudian berdiri, mengatakan mempersilakan ustadz tadi untuk duduk.

Maka apa yang dilakukan ustadz ini?

Apakah dia duduk menggantikan tempat muridnya tersebut?

Min bābil warā (kalau kita warā), maka hendaknya kita tidak mengambil posisi murid kita tersebut meskipun dia dalam rangka untuk menghormati kita.

Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh shahābat Ibnu 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu. Ibnu 'Umar radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu kalau dia datang di majelis langsung-karena sebagian orang menghormati dia-maka orang tersebut mempersilakan Ibnu 'Umar untuk menggantikan posisinya. Namun Ibnu 'Umar pun tidak mau, dia tawarru', dia tidak ingin mengambil hak orang lain padahal mereka karena menghormati Ibnu 'Umar.

Allāh mengatakan demikianlah adab yang seharusnya kalau kita datang kemudian ada orang yang berdiri mempersilakan untuk mengambil posisinya maka kita tolak.

Kecuali khawatir kalau orang tersebut akan tersinggung misalnya atau karena orang tersebut sangat cinta kepada kita maka ini masalahnya lain. Kita ingin memasukkan rasa senang pada dirinya maka tidak mengapa kita duduk kalau memang halnya sudah demikian. Akan tetapi kalau sekedar dia malu maka tidak boleh kita mengambil hak orang lain.

Demikianlah para ikhwan dan akhwat.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memudahkan kita untuk bisa menjalankan adab-adab Islami, adab-adab Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, sehingga kita bisa bertemu dengan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di surga kelak.

آمين يا رب العالمين
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-4

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-4 | Larangan Berbisik antara Dua Orang ketika Sedang Bertiga


السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhwat sekalian, kita lanjutkan pada halaqah yang ke-6 dari Kitābul Jāmi' yaitu bab tentang Adab.

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم: «إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً, فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ, حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ; مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُهُ ». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ. (١)
(١) - صحيح. رواه البخاري (٦٢٩٠)، ومسلم (٢١٨٤)، وليس عند مسلم لفظ «ذلك».

Hadits dari Ibnu Mas'ūd radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu beliau berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam  bersabda: "Jika kalian bertiga maka janganlah 2 orang berbicara/berbisik bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak sampai kalian bercampur dengan manusia. Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih."

(HR. Imām Bukhāri dan Imām Muslim dan lafazhnya adalah terdapat dalam Shahīh Muslim).

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Hadits ini menunjukkan akan agungnya Islam bahwasanya Islam adalah agama yang sempurna, mengatur segala hal sampai pada perkara-perkara yang mungkin dianggap sepele, seperti adab makan, adab minum, adab yang lain-lain termasuk diantaranya adab bergaul.

Disini lihat bagaimana Islam mengatur tatkala seorang sedang ber-3, jangan sampai cuma 2 orang berkumpul kemudian berbicara berbisik-bisik sementara yang ke-3 ditinggalkan.

Apa sebabnya?

Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  :

مِنْ أَجْلِ أَنَّ ذَلِكَ يُحْزِنُه

"Karena perbuatan ini bisa menjadikan orang yang ke-3 bersedih."

Timbul kesedihan dalam dirinya, kenapa dia tidak diajak ngobrol. Dan Islam memperhatikan hal ini, Islam tidak ingin seorang menyedihkan saudaranya.

Juga bisa timbul dalam dirinya sū-uzhan (persangkaan-persangkaan yang buruk); mungkin mereka ber-2 sedang mengghībahi saya, sedang ngerumpiin saya atau sedang menjelek-jelekkan saya.

Timbul persangkaan-persangkaan yang syaithan terkadang mendiktekan kepada orang yang ke-3 tersebut.

Oleh karenanya, Allāh sebutkan dalam Al-Qurān masalah ini. Kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla dalam surat Al-Mujādalah ayat yang ke-10:

إِنَّمَا النَّجْوٰى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا

"Sesungguhnya najwā (berbisik-bisik) dari syaithān untuk menjadikan orang-orang yang beriman bersedih."

Hal ini menyebabkan orang yang ke-3 bersedih.

Oleh karenanya bagaimana solusinya?

Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

ِ حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ

"Sampai kalian bercampur (berbaur) dengan manusia."

Kalau sudah bercampur dengan manusia, berkumpul dengan banyak orang maka tidak akan menimbulkan kesedihan bagi orang ke-3. Dua orang ini ngobrol, orang yang ke-3 juga bisa mencari teman ngobrol yang lain maka tidak jadi masalah.

Yang jadi masalah jika ada sekumpulan orang kemudian semuanya ngobrol bareng-bareng yang satu 1 tidak diajak.


Oleh karenanya meskipun lafazh hadits disebutkan "Jika kalian ber-3 kemudian 2 orang ngobrol dan 1 nya tidak diajak", maka ini mencakup jumlah yang lebih, kata para ulama.

Contohnya:

· Ada 4 orang kemudian 3 orang ngobrol sendiri, kemudian yang 1 tidak diajak maka juga termasuk dalam hadits ini.

Ini dilarang karena bisa menimbulkan kesedihan bagi orang yang ke-4.

· Demikian juga kalau ada 5 orang, kemudian 4 orang ngobrol sendiri, yang ke-5 tidak diajak, maka ini juga dilarang karena menyedihkan orang yang ke-5 dan seterusnya.

· Yang ke-6, ke-7 dan selanjutnya.

Karena 'illah (sebab larangan) dari hadits ini adalah jangan sampai membuat sedih orang yang tidak diajak ngobrol tersebut. Jangan sampai timbul persangkaan-persangkaan yang buruk dalam diri orang tersebut.

Oleh karenanya para ulama menyebutkan, diantara bentuk najwā yang terlarang adalah jika ada 3 orang kemudian 2 orang ini ngobrol dengan bahasa yang tidak dipahami oleh orang ke-3, inipun dilarang.

Meskipun mereka ber-3 dalam kondisi tubuh bersamaan, artinya 2 orang tidak menyepi (tetapi bareng-bareng ber-3), akan tetapi 2 orang ngobrol dengan bahasa yang tidak difahami orang ke-3, ini tidak diperbolehkan, kata para ulama, karena hukumnya sama, seakan-akan dia tidak diajak ngobrol.

Kalau diajak ngobrol, kenapa dengan bahasa yang tidak dia fahami?

Akan membuat dia sedih, merasa dia tidak pantas atau merasa ada suatu rahasia yang berkaitan dengan dirinya atau lainnya, akan datang syaithan mendiktekan hal-hal yang buruk dalam dirinya.

Oleh karenanya, lihatlah indahnya Islam.

Hadits ini sebenarnya hanyalah sekedar sampel (contoh), maksudnya jangan sampai seseorang menyedihkan saudaranya, seorang harus berusaha menjaga perasaan  saudaranya.

Baik dia menyedihkan saudaranya dengan perkataannya, tidak boleh, apalagi dengan perbuatannya, apalagi dengan sikapnya juga tidak boleh.

Mungkin tidak ada ucapan yang buruk dikeluarkan dari mulutnya tapi dengan sikapnya menjadikan saudaranya sedih, inipun tidak boleh.

Lihat najwā dalam hadits ini tidak berkait dengan ucapan yang keluar, tapi sikap, yaitu sikap 2 orang yang berbisik-bisik berdua-dua, ini menyedihkan orang yang ke-3.

Ini dilarang, apalagi kalau kesedihan tersebut timbul dengan perkataan, apalagi dengan perbuatan.

Dan juga hadits ini menunjukkan seseorang dituntut jangan sampai menimbulkan persangkaan-persangkaan yang buruk dalam saudaranya dan sahabatnya.

Demikian.

وبالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam

Penjelasan Kitabul Jami' Bab Adab Hadits Ke-3

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-3 | Hakekat Kebaikan dan Dosa (bagian 1)


بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Kita lanjutkan ke hadits berikutnya :

وَ عَنِ النَّوَّاسِ ابْنِ سَمْعَانَ رضي اللّه عنه قَالَ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللّهِ صلّى اللّه عليه وسلّم عَنِ الْبِرِّ وَ اْلأِثْمِ فَقَالَ اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَ اْلأِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاس

Dari sahabat Nawwas bin Sam'an  radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu  beliau berkata:
Aku bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang makna AlBirr (yaitu kebajikan) dan itsm (yaitu dosa)-Apa itu kebajikan? Apa itu dosa?. Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata AlBirr (kebajikan) adalah akhlaq yang mulia. Adapun dosa yaitu apa yang engkau gelisahkan dihatimu dan engkau tidak suka kalau ada orang yang mengetahuinya.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim).

Ikhwan dan akhwat sekalian yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Sahabat ini bertanya kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tentunya agar dia bisa beramal dan demikianlah adab seorang yang hendak bertanya maka dia niatkan tatkala dia belajar adalah untuk diamalkan. Dan yang ditanya oleh sahabat ini adalah pertanyaan yang sangat indah, tentang apa sih hakikat kebajikan dan apa sih hakikat dari pada dosa.

Adapun jawaban Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berkaitan dengan hak kebajikan, kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam : husnul khuluq (akhlaq yang mulia).

Padahal kita tahu bahwasanya kebajikan itu mencakup banyak sekali perkara. Semua kebaikan adalah kebajikan. Tetapi kenapa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengkhususkan penyebutan husnul khuluq (akhlaq yang mulia) ? Ini menunjukkan akan keutamaan dan keistimewaan akhlaq yang mulia.

Karenanya sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ini mirip seperti sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:
الْحَجُّ عَرَفَةُ
"Haji adalah arofah."

Artinya apa ? Inti daripada ibadah haji adalah wukuf di padang arofah. Bukan berarti haji cuma wukuf di padang arofah saja, tidak. Ada namanya thowaf, ada namanya sa'i, ada namanya ihram, ada namanya ibadah-ibadah yang lain (lempar jamarat, mabit di Mina, mabit di Muzdalifah). Ini semua merupakan rangkaian ibadah haji.

Tetapi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengkhususkan penyebutan wukuf di padang arofah karena dia adalah inti dari pada ibadah haji.

Sama seperti albirru husnul khuluq (kebajikan adalah akhlaq yang mulia). Artinya apa ? Akhlaq mulia memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Oleh karenanya kalau kita ingin melihat dalil-dalil tentang akhlaq yang mulia sangat banyak.

Seperti sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

لَيْسَ شَيْءٌ أَثْقَالُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ

"Tidak ada suatu yang lebih berat dari pada akhlaq yang mulia dalam timbangan pada hari kiamat."

Ini menunjukkan kalau seseorang memiliki akhlaq yag mulia maka akan sangat memperberat timbangan kebajikannya.  Di hari yang sangat dia butuhkan kebaikan itu tatkala hari kiamat kelak.

Contohnya juga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan dalam haditsnya :
إِنَّ رَجُلَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ القَائِمِ

"Sesungguhnya seorang dengan akhlaqnya yang mulia bisa meraih derajat orang yang senantiasa berpuasa sunnah dan senantiasa shalat malam."

Orang ini mungkin dia jarang shalat malam, mungkin dia jarang puasa sunnah. Tetapi dia akhlaqnya mulia, orang senang dekat sama dia, orang bahagia duduk sama dia, orang senang mendengar wejangan-wejangannya. Orang senang mendapatkan bantuannya. Maka meskipun dia jarang shalat malam meskipun dia jarang berpuasa sunnah namun dia mendapat pahala orang-orang seperti itu. Kenapa? Bihusni khuluqihi, dengan akhlaqnya yang mulia. Dan lihatlah sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam :

 أَقْربكمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحاسنكمْ أَخْلَاقًا

"Orang yang paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat adalah yang paling baikakhlaqnya."

Jika anda ingin dekat dengan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pada hari kiamat, perbaiki akhlaq anda. Karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan yang paling dekat dengan aku adalah yang paling baik akhlaqnya.

Ini menunjukkan keutamaan dan keistimewaan akhkaq yang mulia, dia adalah amalan yang spesial. Jangan kita sangka amalan itu hanyalah shalat, hanyalah puasa, hanyalah zakat. Akhlaq yang mulia adalah amalan yang sangat spesial yang sangat mulia disisi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Apabila seseorang berusaha menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia, jangan seorang mengatakan :

"Saya tidak bisa merubah akhlaq saya".
"Saya memang begini modelnya".
"Saya diciptakan begini modelnya, tabiat saya memang seperti ini".

Kalau akhlaq tidak bisa dirubah, buat apa hadits-hadits yang begitu banyak tentang akhlaq yang mulia?. Buat apa ayat-ayat Allah turunkan tentang memotivasi orang-orang berakhlaq mulia?

Ini menunjukkan akhlaq bisa dirubah. Seorang yang pelit bisa jadi orang dermawan. Seorang yang pemarah bisa jadi seorang yang penyabar. Jangan sampai seorang mengatakan :

"Saya memang suka marah",
"Saya memang temperamental".
Jangan!
"Saya begini tipenya".
Seperti itu orang bisa merubah akhlaqnya.

Oleh karena dalam hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

"Aku menjamin istana di bagian atas surga bagi orang yang terindah akhlaqnya."

Dalam riwayat lain :
لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ

"Bagi orang yang memperindah akhlaqnya."

Berarti akhlaq itu bisa diperoleh, bisa diraih.

Dalam hadits kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

مَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ الله

"Barangsiapa yang berusaha bersabar maka Allah akan jadikan dia penyabar."

Orang yang pemarah bisa jadi penyabar.

Karenanya para hadirin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Inilah keutamaan keistimewaan akhlaq mulia.

Para ulama menyebutkan diantara akhlaq mulia sebagaimana perkataan Ibnul Mubaarok : Akhlaq mulia terkumpul pada 3 perkara :

طَلاَقَةُ الوَجه ، وَبَذْلُ المَعروف ، وَكَفُّ الأذَى

"Yaitu wajah yang sering berseri-seri, senyum. Kemudian mudah untuk berbuat baik kepada oranglain dan tidak mengganggu oranglain."

Ini 3 rukun akhlaq :
Wajah sering berseri-seri, murah senyum kepada oranglain, artinya tidak merendahkan dan tidak menghinakan orang lain.
Ringan tangan untuk membantu orang lain.
Tidak mengganggu orang lain.

In syaa'  Allah kita akan lanjutkan lagi pada halaqoh berikutnya.

Wabillaahit taufiq.
Assalaamu'alaykum warahmatullah wabarakaatuh.

~~~~~~~

 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bulūghul Māram
 Hadits ke-3 | Hakekat Kebaikan dan Dosa (bagian 2)


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Kita masuk pada halaqah yang ke-5, masih bersama hadits

عَنِ النَّوَّاسِ ابْنِ سَمْعَانَ رضي اللّه عنه قَالَ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللّهِ صلّى اللّه عليه وسلّم عَنِ الْبِرِّ وَ اْلأِثْمِ فَقَالَ اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَ اْلأِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ (أخرجه مسلم)

Dari shahābat Nawās bin Sam'ān radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, dia berkata: Aku bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang kebajikan dan tentang dosa. Kebajikan adalah akhlaq yang mulia. Dan dosa adalah apa yang membuat hatimu gelisah dan engkau tidak suka kalau orang-orang melihat apa yang engkau lakukan tersebut. (HR. Imam Muslim dalam Shahīhnya).

Telah kita bahas pada pertemuan sebelumnya tentang makna al-birru husnul khulūq (kebajikan adalah akhlaq yang mulia).

Dan pada kesempatan kali ini kita akan membahas potongan hadits yang ke-2 yaitu tentang dosa.

وَاْلأِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Dosa adalah apa yang menggelisahkan engkau dihatimu. Dan engkau tidak suka jika orang-orang melihat kau melakukannya.

Hadits ini menjelaskan tentang barometer untuk mengenal dosa. Tentunya, dosa-dosa adalah melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Untuk mengenal dosa, kita bisa melihat dengan mempelajari Al-Qurān dan sunnah-sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam;

■ Apa yang dilarang oleh Allāh dalam Al-Qurān maka itu adalah dosa.
■ Apa yang dilarang oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam hadits-haditsnya maka itu adalah dosa.

Namun terkadang, ada perkara yang kita lakukan yang kita tidak sempat untuk melihat/mengecek dalilnya atau kita tidak tahu dalilnya. Tetapi tatkala kita hendak melakukannya muncul kegelisahan dalam dada kita dan muncul ketidaktenangan dalam hati kita tatkala kita hendak melakukannya, ingatlah ini merupakan ciri dosa.

Karena dalam hadits ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan barometer dan indikator untuk mengenal dosa, Beliau menyebutkan 2 ciri, yaitu :

⑴ Menjadikan dadamu gelisah
⑵ Engkau tidak suka untuk dilihat oleh orang lain

Kalau anda melakukan suatu perkara kemudian anda merasa tenang, hati tidak merasa gelisah dan kalau orang lain tahu pun tidak jadi mengapa, maka ini bukan dosa.

Tapi tatkala anda melakukan sesuatu, kemudian ternyata hati anda gelisah atau tidak tenang dan tidak ingin orang lain (tetangga/sahabat/istri atau ustadz kita) tahu, maka ini merupakan ciri dosa, maka berhati-hatilah. Dan sebaiknya kita meninggalkan perkara yang menimbulkan ketidaktenangan tersebut.

Namun ingat kata para ulama, hadits (sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam) ini berkaitan dengan orang yang hatinya masih sesuai dengan fitrah, bukan orang-orang yang melakukan kemaksiatan yang fitrahnya sudah rusak, yang membanggakan kemaksiatan-kemaksiatan yang mereka lakukan, tidak punya malu. Tentu hadits ini tidak berlaku bagi mereka, seperti:

• orang-orang yang memamerkan aurat mereka
• orang-orang yang minum khamr dihadapan banyak orang
• orang-orang yang bangga dengan kejahatan-kejahatan/maksiat-maksiat yang mereka lakukan
• orang-orang yang terkadang menshooting diri mereka tatkala mereka sedang bermaksiat, sedang berzina lalu mereka sebarkan di dunia-dunia maya.

Ini semua tidak berlaku bagi mereka disini karena fitrah mereka telah rusak.

Adapun hadits ini berlaku untuk orang yang masih punya rasa malu, yang fitrahnya masih baik. Maka untuk mengenal dosa atau tidak, maka dia memiliki 2 ciri/indikator:

⑴ Hatinya tidak tenang
⑵ Dia tidak suka kalau ada orang yang melihatnya

Oleh karenanya ikhwan akhwat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwasanya dosa itu pasti mendatangkan kegelisahan. Sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullāhu Ta'āla:

Barang siapa yang bermaksiat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla pasti dia gelisah, pasti dia tidak tenang. Sebagaimana kalau orang yang mengingat Allāh :

ِ ۗأَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

"Ketahuilah dengan mengingat Allāh maka hati menjadi tenang. (Ar-Ra'du:28)

Maka kebalikannya, kalau lupa dan maksiat kepada Allāh, maka pasti mendatangkan kegelisahan & gundah gulana, hatinya tidak tenang & tidak tentram sampai dia bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjauhkan kita dari segala dosa. Dan semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang tawwābīn, yaitu jika kita berdosa segera kita bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Demikianlah.

وبالله التوفيق والهداية

Sampai bertemu pada halaqoh berikutnya.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

_________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"
www.bimbinganislam.com
fb.com/TausiyahBimbinganIslam