Blogger Widgets
..:: Galau?! Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang ::..
Tampilkan postingan dengan label Tanya Jawab Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tanya Jawab Islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Februari 2017

Tanya Jawab: Apakah Gaji PNS Termasuk Syubhat atau Riba?

PERTANYAAN 
•1. Assalamu alaikum,. saya mau bertanya mengenai gaji pegawai Negeri , yang menurut pengetahuan saya bahwa pengelolaan uang negara ada unsur ribanya, seperti utang luar negeri dan lain sebagainya. apakah gaji kami pns termasuk bagian dari riba?
Djanwar - Makassar

•2. Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Saya seorang PNS di salah satu kementrian dan lembaga. Saya sudah 8 tahun mengabdi. Yang saya ingin tanyakan apakah gaji PNS termasuk syubhat dan bagaimana hukumnya kalo uang tersebut digunakan untuk keperluan sehari-hari? Kalo gaji pns itu syubhat langkah apa yang saya tempuh untuk menyikapi hal tersebut??
Terima kasih. Wassalam
Fitra - Gowa

JAWABAN
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk berhati-hati dalam masalah pendapatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Allah itu baik dan Dia tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman seperti apa yang Dia perintahkan kepada para Rasul, Allah berfirman (yang artinya): “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh.” (QS. Al Mu”minun : 51). Dia Juga berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al Baqarah : 172).

Kemudian beliau menyebut seorang laki-laki yang dalam perjalanan jauh, rambutnya kusut, berdebu, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berdoa “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku,” namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dia tumbuh dibesarkan dari yang haram, maka bagaimana doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim)

Perlu diketahui bahwa harta yang haram ada tiga macam :
1. Haram zatnya, misalnya babi dan khamar.
2. Haram kepemilikannya karena terkait dengan hak orang lain, misalnya barang curian atau rampasan.
3. Haram sebab mendapatkannya, misalnya bekerja di bank ribawi karena Allah melaknat orang yang memakan riba, memberi makan riba, pencatat akadnya dan saksi-saksinya.

Bekerja pada instansi pemerintah yang mana gajinya berasal dari sumber yang bercampur antara yang halal dan yang haram hukumnya mubah, selama jenis pekerjaan yang dikerjakannya adalah jenis pekerjaan yang halal dan harta yang menjadi gajinya bukan harta yang haram zatnya atau haram kepemilikannya karena terkait dengan hak orang lain.

Dengan demikian gaji yang didapatkan dari jenis pekerjaan yang halal adalah pendapatan yang halal. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara utang dan beliau memberikan baju besinya kepada orang tersebut sebagai jaminan.” (HR. Muslim).

Para ulama berkata bahwa orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang menghalalkan riba dalam muamalah mereka sehingga harta mereka tentu saja bercampur antara yang halal dan yang haram. Namun hal tersebut tidak menghalangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berjual beli dengan mereka, padahal beliau tidak tahu apakah makanan yang mereka jual berasal dari harta mereka yang halal atau yang haram.

Dengan demikian bekerja pada instansi pemerintah atau perusahaan atau orang yang sumber pendapatannya bercampur hukumnya mubah dan pendapatan dari pekerjaan tersebut adalah halal, dengan syarat jenis pekerjaan yang dikerjakannya adalah pekerjaan yang halal.
Wallahu Ta’ala A’lam.


✏Dijawab oleh Ustadz Saiful Yusuf, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Jurusan Fiqh di King Saud University, Riyadh)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

     Gabung Grup BII
     Ketik BII#Nama#L/P#Daerah 
     Kirim via WhatsApp ke: +628113940090

Tanya Jawab: Adakah Bacaan Khusus Setelah Muadzin Membaca "Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah"?

PERTANYAAN
Bismillah.
Ustadz, apa yang harus kita jawab ketika adzan pas "Asyhadu anna muhammadan rasuulullaah"? karena sepengetahuan saya ada 3 syarat doa terkabul dan salah satunya, menjawab lafaz "Asyhadu anna muhammadan rasuulullaah". Syukron.
Hilya –Makassar.

JAWABAN
Allaahu a'lam dengan bacaan yang Anda maksudkan, namun sebagian ulama menyebutkan sunatnya membaca bacaan khusus tatkala muazin usai membaca lafal azan "Asyhadu an laa ilaaha illallaah", dan "Asyhadu anna muhammadan Rasulullaah", sebagaimana yang disebutkan dalam HR Muslim (386) dari Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu'anhu bahwa Nabi shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkan bacaan -tatkala mendengar muazin-:

أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأن محمدا عبده ورسوله رضيت بالله ربا وبمحمد رسولا وبالإسلام دينا

(Asyhadu an laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariika lahu, wa anna Muhammadan 'abduhu wa rasuuluhu, radhiitu billaahi rabban, wa bi muhammdin rasuulan, wa bil-islaami diina); maka dosa-dosanya akan terampuni".

Para ulama tersebut menyatakan bahwa bacaan ini dibaca tatkala muazin usai mengumandangkan dua kalimat syahadat, tepat setelah lafaz "Asyhadu anna muhammadan Rasulullaah". (Lihat: : Al-Majmu' –Imam Nawawi; 2/87-88 , Syarh al-Mumti'- Ibnul-'Utsaimin: 2/86, Liqa' al-Baab al-Maftuuh –Ibnul-'Utsaimin: liqa' 156/26, dan Al-Masaail al-Muhimmah fil-Adzaan wal-Iqaamah- al-Tharifi; 108).

Namun ulama yang lain juga menyebutkan bahwa bacaan ini hendaknya dibaca setelah muazin selesai mengumandangkan azan secara keseluruhan, yakni dibaca beserta doa setelah azan yang biasa dibaca setelah muazin mengucapkan lafal azan terakhir "Laa ilaaha illallaah". (lihat: Tuhfatul-Ahwadzi: 1/529).

Kesimpulannya: Inilah salah satu doa yang diucapkan saat azan, kapan seseorang membacanya tatkala azan baik ketika muazin usai membaca dua kalimat syahadat atau setelah selesai mengumandangkan azan, maka semua tetap disunahkan, insya Allah.

Adapun pernyataan bahwa bacaan tersebut merupakan salah satu dari 3 syarat terkabulnya doa, maka tidak benar, karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal tersebut, hanya saja, siapa yang mengamalkannya tentu telah menambah ketaatan dan ibadah kepada Allah, yang bisa menjadi salah satu penguat untuk mustajabnya doa, bukan syarat mustajabnya, wallaahu a'lam.


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

     Gabung Grup BII
     Ketik BII#Nama#L/P#Daerah 
     Kirim via WhatsApp ke: +628113940090

Senin, 13 Februari 2017

Tanya Jawab: Adab dalam Berkomunikasi di Media Sosial

PERTANYAAN

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bagaimana kita menyikapi media sosial yang semakin mudah memberikan kabar ke teman atau saudara? Sehingga memungkinkan kita untuk berkomunikasi kepada lawan jenis. Padahal kita berkomunikasi hanya bermaksud memberi kabar kost teman-teman lama.

جَزَاك اللهُ خَيْرًا

(Dari Umi Ma'rifah di Taiwan Anggota Grup WA Bimbingan Islam T06 G58)

JAWAB

Medsos adalah sarana yang dapat digunakan untuk sesuatu yang mubah, dapat pula untuk sesuatu yang bernilai ibadah, maupun untuk maksiat.

Bila medsos digunakan untuk hal-hal yang tujuannya mubah, seperti komunikasi dengan bahasa yang sopan (tidak genit), maka hukumnya mubah. Hanya saja, penggunaan medsos tetap perlu dibatasi agar tidak berlebihan dalam yang mubah, sehingga bergeser kepada yang dilarang.

Intinya, perhatikan poin-poin berikut:

1. Siapa yang akan diajak berkomunikasi? (mahram atau bukan). Kalau mahram, maka tidak mengapa. Tapi kalau bukan, maka batasi dan seperlunya saja.

2. Gunakan bahasa yang jelas dan tidak genit. Karena tulisan hukumnya sama dengan ucapan. Kita dilarang berkomunikasi dengan selain mahram, kecuali dengan nada bicara yang tegas dan tidak genit (merangsang syahwat lawan jenis).

3. Jangan share berita tentang amal shalih kita, karena ini mengundang sifat riya’ (ingin pamer), dan ini bisa membatalkan pahala amal kita.

4. Jangan berlebihan dalam berkomunikasi via medsos, namun sebatas yang diperlukan saja.

5. Jangan share foto-foto pribadi agar tidak disalahgunakan.

6. Jangan share foto orang lain, kecuali dengan seizinnya dan demi kemaslahatan syar’i (Contoh: men-share foto saudara kita yang jadi korban suatu musibah, atau yang sedang terbaring di Rumah Sakit, dan semisalnya).

Karena setiap muslim punya harga diri dan kehormatan yang tidak boleh dilanggar, dan tidak setiap orang ridha foto dirinya dalam kondisi tertentu disebarluaskan, karena ini bisa masuk ke dalam ghibah (menceritakan hal-hal yang tidak disukai saudara kita terkait dirinya tanpa sepengetahuan dia).

7. Jangan share foto makhluk bernyawa (hewan dan manusia) kecuali demi kemaslahatan syar’i yang mu’tabar.

8. Jangan asal sebarkan berita kecuali yang telah diklarifikasi kebenarannya dan bermanfaat untuk diketahui orang lain. Tidak semua berita yang tersebar itu benar, dan tidak semua berita yang benar itu pantas disebar. Kalaupun ia pantas disebar, maka tidak semua orang akan mendapat manfaat dari berita itu.

Bahkan boleh jadi bagi sebagian kalangan, sesuatu yang bermanfaat bagi kita akan menimbulkan madharat bagi orang lain karena disalah fahami. Jadi, pilih-pilihlah yang seksama dalam men-sharing sesuatu.

Demikian, wallaahu a’lam.

Konsultasi Bimbingan Islam
Dijawab oleh Ustadz Dr. Sufyan Baswedan, Lc. M.A.

 _________________

Sumber: Grup WA "Bimbingan Islam"

Web:
  www.bimbinganislam.com


Like & Share 
Facebook Page:

Tanya Jawab: Hukum Makmum Mengikuti Imam Qunut Subuh?

PERTANYAAN
Assalamualaikum.
Ustadz, bagaimana hukum makmum mengikuti imam yang melakukan Qunut Subuh?? Apakah makmum harus mengikutinya atau tidak???
Ardi - makassar

JAWABAN
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum qunut subuh yang dilakukan secara terusmenerus tanpa sebab; sebagian mereka berpendapat hukumnya sunnah (diantara yang berpendapat demikian adalah imam assyafi'i -rahimahullah- dll), ada yang menyatakan hukumnya makruh (seperti imam ahmad -rahimahullah- dll) dan adapula yang menyatakan hukumnya bid'ah (seperti ibnu Tamim -rahimahullah- dll).

Tentunya masing masing ulama memiliki dalil yang dipakai untuk menguatkan pendapatnya,
Dan pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah bahwasanya hukum qunut subuh berkisar antara makruh dan bid'ah, hal ini berdasarkan argumen-argumen berikut;

•1. Tidak adanya hadits yang shohih dari Nabi tentang disyariatkannya qunut subuh secara terus menerus.

•2. abdullah bin umar pernah ditanya tentang qunut subuh, beliau berkata:
ما شعرت أن أحدا يفعله
"Aku tidak merasa ada seseorang yang melakukannya" (mushonnaf abdurrazzaq (3/107)

•3. Imam azzuhri -seorang tabi'in- pernah berkata:
من أين أخذ الناس القنوت؟ وتعجب وقال: إنما قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم أياما ثم ترك ذلك
Dari mana manusia mengambil (dasar) qunut subuh? (beliau heran) dan berkata: Nabi dahulu hanya qunut beberapa hari saja kemudian beliau meninggalkannya (mushannaf abdurrazzaq 3/105)

Berdasarkan keterangan diatas maka sebaiknya antum mencari imam yang tidak qunut subuh (jika memungkinkan maka tentu lebih bagus), namun jika tidak maka tidak mengapa sholat dibelakang imam yang qunut subuh dan hendaknya makmum ikut mengangkat tangan dan mengaminkan doa imam, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إنما جعل الإمام ليؤتم به
"Imam itu dijadikan untuk diikuti" (HR. Muslim )

Dan para ulama -diantaranya ibnu Taimiah- menyatakan bahwa dalam perkara ijtihadiah yang diperselisihkan ulama hendaknya makmum tetap mengikuti imam.

Fadhilatussyaikh Muhammad bin sholih al-Utsaimin berkata: "barangsiapa yang sholat dibelakang imam yang qunut pada sholat subuh maka hendaknya dia mengikuti imam tersebut untuk qunut dan mengaminkan doanya, demikianlah yang dinyatakan oleh imam Ahmad bin hanbal rahimahullah" (majmu' fatawa ibnu utsaimin 14/177)

Tentunya dengan tetap berusaha mencari waktu dan kesempatan untuk mendakwahi imam dan kaum muslimin secara umum tentang pentingnya mengikuti cara shalat rasulullah yang benar yang didasarkan pada dalil-dalil yang kuat.
Wallahu a'lam

✍ Dijawab oleh ustadz Zamakhsyari Dhofir, Lc. -Hafizhahullah-
(Alumni Fakultas Hadits Syarif Universitas Islam Medinah Munawwarah tahun.1431/2010
Pimpinan Pondok Pesantren Jamaluddin BagikNyaka, Aikmel, Lombok Timur)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

     Gabung Grup BII
     Ketik BII#Nama#L/P#Daerah 
     Kirim via WhatsApp ke: +628113940090

Selasa, 27 Desember 2016

Tanya Jawab: Hukum Menggambar Makhluk Hidup dengan Menggunakan Media Digital

PERTANYAAN
Bismillah...
Bagaimana hukumnya menggambar mahluk hidup menggunakan media digital (mouse) atau gambar setengah?
Mohon penjelasannya Ustadz.
Syukron.
#Abdullah

JAWABAN
Bismillaah…

Menggambar makhluk hidup dengan badan sempurna dengan menggunakan apapun hukumnya tetap sama yaitu haram, baik dengan menggunakan pena, pensil, ataupun media digital / mouse, karena prakteknya tetap sama yaitu menggambar dan inilah yang dimaksud dalam hadis larangan menggambar makhluk hidup bernyawa:   Sebagaimana hadis: "Manusia yang paling keras siksaannya hari kiamat kelak adalah yang menandingi penciptaan Allah (membuat patung/gambar makhluk bernyawa)". (HR Bukhari: 5954 dan Muslim: 2107).

Sebab itu diakhirat kelak pembuatnya akan disuruh untuk meniupkan ruh kedalam gambar/patung buatannya tersebut, walaupun ia akhirnya tidak akan bisa dan diadzab.
Dalam HR Bukhari: 2105 dan Muslim: 2107 Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya pembuat gambar (termasuk patung) ini, akan diazab hari kiamat kelak, dikatakan pada mereka: hidupkanlah makhluk yang kalian buat ini".

Adapun bila melukis sebagian badan makhluk hidup tersebut:
Maka para ulama berbeda pendapat antara ada yang membolehkan dan mengharamkan.

Sebagian ulama yang membolehkannya menghukuminya dengan perincian berikut:

• Bila sebagian badannya tersebut adalah gambaran badannya yang dengannya ia bisa hidup, seperti gambar sempurna dengan tangan atau kaki terpotong, maka ini tetap dihukumi haram.

• Bila sebagian badannya tersebut adalah gambaran badannya yang dengannya ia tidak bisa hidup, seperti gambar setengah badan, atau gambar kaki, tangan, atau kepala, maka hukumnya boleh.

Dalilnya adalah hadis Ibunda Aisyah radhiyallahu'ahna, ia berkata: Rasulullah mengunjungiku dan aku menutup lubang angin pada tembok dengan kain tipis yang banyak gambar, tatkala beliau melihat beliau marah dan merobeknya. Kemudian berkata: Wahai Aisyah, azab Allah yang paling berat di hari kiamat nanti ialah terhadap mereka yang menyamakan perbuataannya dengan ciptaan Allah. Aisyah berkata: Lalu saya memotong kain itu dan saya jadikan satu atau dua bantal.” (HR Muslim: 2107).

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam menyetujui perbuatan Aisyah yang menjadikan sobekan kain bergambar makhluk bernyawa   sebagai kain bantal, dan ini dipahami bahwa badan makhluk tersebut sudah terbagi dalam dua gambaran yang dengan masing-masingnya ia tidak bisa hidup.

Adapun ulama yang tetap mengharamkannya utamanya pada gambar kepala, atau badan bagian atas: maka mereka tetap berdalil dengan keumuman teks hadis larangan menggambar atau melukis makhluk bernyawa yang telah disebutkan diatas.

Sikap kita sebagai seorang muslim adalah berusaha untuk menyempurnakan agama dan ibadah kita, sehingga menjauhi pembuatan lukisan atau gambar makhluk bernyawa tersebut adalah hal yang sudah sepantasnya dilakukan, kecuali bila dituntut oleh hajat dan kebutuhan tertentu, maka dibolehkan tapi sesuai kadar hajat dan darurat tersebut, Wallaahu a'lam.


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

     Gabung Grup BII
     Ketik BII#Nama#L/P#Daerah 
     Kirim via WhatsApp ke: +628113940090

Tanya Jawab: Adanya Mani Setelah Mandi dan Shalat

PERTANYAAN
Bismillah..
Afwan Ustadz, Mohon penjelasannya.
Setelah mandi junub pasca jima' terkadang ada sisa sperma yg keluar dari farji.
Apakah sholatnya sah?

JAWABAN
Gambaran masalah yang Anda tanyakan ada dua:

• Pertama: Bila mandi wajib, setelah itu shalat lalu melihat adanya sisa air mani yang keluar dari farji (alat vital) karena jima' yang dilakukan sebelumnya. Maka yang mesti dilakukan adalah:

  1. Bila air mani itu keluar tanpa disadari (tanpa adanya syahwat) maka cukup berwudhu kembali dan mengulangi shalat tersebut, karena keluarnya air mani tanpa syahwat setelah mandi wajib, hanya membatalkan wudhu menurut jumhur/kebanyakan para ulama dan tidak wajib harus mandi wajib lagi, sehingga shalat yang dilakukan sebelumnya batal sebab boleh jadi air mani itu keluar tatkala sedang shalat, dengan dalil: bahwa mani yang keluar tersebut sebenarnya adalah mani yang keluar tatkala dipenghujung jima' hanya saja ia tertahan, dan tidak bisa keluar kecuali setelah beberapa waktu, sehingga tidak perlu mandi wajib lagi. Inilah yang bisa dipahami dari pendapat Ibnu Abbas, dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhum tatkala mereka berdua ditanya tentang orang junub yang maninya keluar setelah mandi wajib, beliau menjawab: "Ia cukup berwudhu saja". (Riwayat Ibnu Abi Syaibah: 1482 dan 1483, lihat al-Majmu': 2/139, dan Hasyiah Raudh al-Murbi': 1/272).

  2. Bila air mani tersebut keluar dengan diiringi syahwat, maka biasanya ia merupakan air mani baru, maka harus mandi wajib dan mengulangi shalat bila keluarnya tatkala shalat atau dipenghujung shalat. (lihat al-Majmu': 2/139).
Adapun bila keluarnya setelah shalat dengan syahwat, maka ia tidak perlu mengulang shalatnya, tapi cukup mandi wajib saja.

• Kedua: Adapun bila air mani keluar setelah mandi dan sebelum shalat, maka hukumnya juga berdasarkan perincian sebelumnya, yaitu bila diiringi syahwat maka tetap mandi wajib kembali, dan bila tanpa diiringi syahwat maka hanya cukup berwudhu, wallaahu a'lam.

Adapun bila seorang wanita yang ketika selesai mandi melihat adanya air mani suaminya yang keluar dari alat vitalnya, maka ia cukup membersihkannya (bukan karena ia najis, tapi untuk kebersihan semata karena air mani itu suci), lalu berwudhu kembali karena air mani yang keluar tersebut terhitung sebagai al-khaarij min assabiilain yang membatalkan wudhu menurut banyak ulama. (lihat: Syarah Mukhtashar al-Khalil- Abu Abdillah al-Maliki: 1/152). Wallaahu a'lam.


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

     Gabung Grup BII
     Ketik BII#Nama#L/P#Daerah 
     Kirim via WhatsApp ke: +628113940090

Tanya Jawab: Hukum Berpuasa untuk Orang Lain yang Masih Hidup

PERTANYAAN
Assalamu'alaikum..
Afwan Ustadz ana ingin bertanya.
Kalau misalnya kita bernadzar untuk puasa sebulan, kemudian belum selesai dan ibu mengatakan "saya saja yang menggantikan puasa kamu nak..".
Maksudnya disini, ibunya ingin membantu puasa sang anak agar selesai nazarnya.
Apakah boleh atau tidak ustads ?
Mohon penjelasannya ustadz.
Syukran.

JAWABAN
Wa'alaikumussalaam warahmatullaah,,,
Yang Anda sebutkan dalam pertanyaan yaitu hukum berpuasa untuk orang lain yang masih hidup adalah tidak boleh sesuai kesepakatan para ulama.

Al-Imam al-Nawawi rahimahullah berkata: "Para sahabat kami (ulama mazhab syafi'iyah) dan selain mereka berkata: Tidak boleh berpuasa untuk seseorang yang masih hidup tanpa ada perselisihan (dikalangan ulama) baik orang yang dipuasakan tersebut tidak mampu atau mampu". (al-Majmu': 6/371).

Hal ini ditegaskan lagi oleh Syaikhul-Islam Zakarya al-Anshari rahimahullah dalam Asnaa al-Mathaalib (1/428): "Tidak sah mempuasakan orang yang masih hidup tanpa ada perselisihan (dikalangan ulama), baik orang yang dipuasakan tersebut memiliki udzur (halangan berpuasa) ataupun tidak".

Sebab itu, orang yang bernadzar tersebut wajib menyempurnakan nadzarnya sendiri tanpa bantuan orang lain, wallaahu a'lam.

Adapun bila ia tidak mampu melanjutkannya, maka hendaknya memutuskan untuk tidak melanjutkan nadzarnya dan membayar kaffarah nadzar yaitu memilih salah satu dari tiga pilihan berikut:

 1. Memberikan makanan pada 10 orang miskin,

 2. Memberikan pakaian pada 10 orang miskin,

 3. Memerdekakan satu hamba sahaya,

Jika tidak mampu melaksanakan salah satu dari ketiganya, maka cukup: berpuasa tiga hari.
Wallaahu a'lam.


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

     Gabung Grup BII
     Ketik BII#Nama#L/P#Daerah 
     Kirim via WhatsApp ke: +628113940090

Selasa, 25 Oktober 2016

Tanya Jawab: Apakah Orang yang Telah Meninggal Harus Diaqiqahkan?

PERTANYAAN
Apakah orang yang telah meninggal harus diaqiqahkan ?

JAWABAN
Persoalan ini bisa dibagi dalam dua poin:

• Pertama: Bayi yang keguguran setelah masa ditiupkan ruh padanya (usia janin: 4 bulan keatas), atau lahir dalam kondisi tidak bernyawa atau wafat sebelum hari ke tujuh dari kelahirannya, apakah ia disunatkan untuk diaqiqahkan ?

Dalam persoalan ini, para ulama rahimahumullah berbeda pendapat antara yang mensunatkan dan tidak mensunatkan. Namun, yang nampak adalah bahwa ulama-ulama yang mensunatkan aqiqah bayi jenis ini (yaitu dari kalangan Mazhab Syafi'iyah dan Hanabilah) lebih tepat, dan dalil sunatnya hal ini adalah keumuman petunjuk dan makna hadis aqiqah:
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
Artinya: “Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ke tujuh, dicukur dan diberi nama” [HR Abu awud, no. 2838, at-Tirmidzi no. 1522, Ibnu Majah no. 3165. Hadits ini dihukumi shahih oleh Al-Hakim,dan Al-Albani]
Makna bayi yang dimaksud dalam hadis ini adalah yang telah ditiupkan ruh padanya, baik lahir dalam keadaan hidup ataupun wafat.
Sebab itu, bila kedua orangtuanya mampu, maka tetap sunat untuk diaqiqahkan, wallaahu a'lam.

• Kedua: Orang dewasa yang wafat namun belum diaqiqahkan, apakah tetap diaqiqahkan ?

Persoalan seperti ini jarang bahkan hampir tidak dijelaskan oleh para ulama, dan yang nampak adalah tidak perlu diaqiqahkan karena selain waktu aqiqah telah jauh terlewati selama belasan dan puluhan tahun, juga orang yang mau diaqiqahkan telah wafat.
Hukum asal aqiqah adalah dihari ketujuh, bila ditunda maka hendaknya tidak terlampau lama hingga bertahun-tahun dari waktu asal tersebut, wallaahu a'lam.


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

     Gabung Grup BII
     Ketik BII#Nama#L/P#Daerah 
     Kirim via WhatsApp ke: +628113940090

Tanya Jawab: Aqiqah dengan Sapi, Apakah Sah?

PERTANYAAN
Apakah aqiqah dengan sapi, hukumnya sah? Atau tidak sah dan perlu diulang?

JAWABAN
Tentunya, dasar sunnah dalam aqiqah adalah dengan menyembelih kambing, bagi anak laki-laki dua ekor, dan bagi anak perempuan satu ekor sebagaimana dalam hadis aqiqah yang populer. Tapi jumhur ulama dari madzhab Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah membolehkan untuk melakukan aqiqah dengan menyembelih sapi atau onta. Dalil tentang kebolehan masalah ini tidak tegas atau tidak jelas dari sunnah Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, namun mereka berdalil dengan mengqiyaskan (menyamakan hukumnya) pelaksanaan aqiqah ini dengan pelaksanaan udh-hiyah / kurban yang mana dalam kurban dibolehkan penyembelihan sapi dan onta. Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Yang dibolehkan dalam perkara aqiqah adalah yang juga dibolehkan dalam perkara hewan kurban". (Al-Majmu': 8/429).

Tapi mereka mensyaratkan bahwa sapi yang disembelih untuk aqiqah tersebut sudah berumur dua tahun dan telah masuk pada tahun ketiga, dan onta yang disembelih sebagai aqiqah berumur lima tahun keatas. Adapun dibawah umur tersebut maka tidak dibolehkan, sebagai bentuk qiyas (penyamaan hukumnya) dengan sifat-sifat hewan kurban. Dan boleh bagi yang ingin aqiqah hanya mengambil sepertujuh dari daging sapi atau onta tersebut untuk aqiqah karena sepertujuh sapi atau onta setara dengan daging satu ekor kambing. Juga dibolehkan untuk bekerjasama dalam penyembelihan sapi dalam aqiqah ini, misalnya si A, B dan C masing-masing memiliki satu anak, sepakat untuk menyembelih satu ekor onta atau sapi dan itu dijadikan sebagai hewan aqiqah untuk tiga anak tersebut.

Bahkan Imam Nawawi rahimahullah menukil bahwa yang paling utama dalam Madzhab Syafii adalah lebih mengutamakan aqiqah dengan sapi atau onta dibandingkan dengan kambing sebagaimana dalam Al-Majmu': 8/430, tentunya dengan dalil mengqiyaskan (menyamakan hukumnya) dengan hewan kurban, yang mana yang paling utama dalam kurban adalah onta, kemudian sapi, kemudian kambing.

Akan tetapi yang paling benar menurut pendapat para ulama adalah bahwasanya aqiqah yang paling utama adalah dengan kambing, karena nash/dalil aqiqah yang ada semuanya menyebut kambing sekaligus menunjukkan bahwa dasar sunnah aqiqah adalah dengan kambing.

Sebab itu, aqiqah dengan sapi tetap sah, dan tidak perlu diulang aqiqahnya.


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

     Gabung Grup BII
     Ketik BII#Nama#L/P#Daerah 
     Kirim via WhatsApp ke: +628113940090

Selasa, 19 Juli 2016

Tanya Jawab: Menggabungkan Dua Niat Puasa dalam Satu Hari

PERTANYAAN
assalamualaikum.
Kami Ingin bertanya Ustadz, apakah ada niat puasa yg digabung? misalx pd saat puasa syawal didlmx trdpt puasa senin kamis, ayyamul bidh.
Jazakumullahkhairan.
Fulanah#Halmahera Tengah

JAWABAN
Wa'alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuhu..
Masalah penggabungan niat antara beberapa puasa dalam satu hari ini para ulama menyebutnya sebagai "AtTadaakhul fil 'ibaadaat" (saling bercampurnya antara banyak ibadah -yang jenis ,waktu dan sifat amalannya sama - ) , atau sebagian mereka juga menyebutnya "AtTasyriik fi anniiyah" ( Kebersamaan -banyak amalan yang satu jenis, waktu dan sifat- dalam satu niat). Dalil dari kaidah ini adalah berdasarkan pengkajian dan penelitian terhadap dalil-dalil AlQuran dan Hadis.

Kaidah dalam masalah ini adalah "Jika dua amalan ibadah berasal dari jenis yang sama , sifat atau cara amalannya sama, dan waktu pelaksanaanya juga sama, maka keduanya bisa dilakukan dengan hanya melakukan satu amalan saja". Ini merupakan cabang dari salah satu kaidah utama dalam Kaidah Fiqh ; "Al-Umuur bi Maqaashiidihaa" (suatu perkara  –baik berupa amalan atau ucapan- tergantung pada tujuannya –atau niatnya- ).

Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata (Al-Qawaa'id fil Fiqh: hal.23) ; "Jika dua ibadah dari jenis yang sama  berkumpul dalam waktu yang sama, yang mana salah satunya tidak dilakukan sebagai qadha atau sebagai tab'iyyah / ibadah yang mengikuti ibadah lainnya dalam waktu (seperti rawaatib -pent) , maka amalan-amalan keduanya saling berkaitan sehingga cukup melakukan keduanya dengan satu amalan saja".

Contohnya ; puasa hari senin dan puasa syawal yang mana jika puasa syawal tepat pada hari senin maka waktu keduanya sama , keduanya memiliki jenis yang sama yaitu puasa sunat, juga sifat atau cara pelaksanaan yang sama yaitu dimulai dari sahur sebelum fajar, menahan diri dari pembatal-pembatal puasa ,hingga berbuka puasa disore harinya. Maka dengan melaksanakan satu kali puasa dihari senin ini,  ia telah mendapatkan dua pahala sekaligus jika ia meniatkan puasanya untuk puasa senin sekaligus puasa syawal.

Contoh lainnya ; ketika masuk masjid setelah adzan, maka seorang muslim disunatkan untuk melakukan dua jenis shalat yaitu dua rakaat tahiyyatul-masjid dan dua rakaat shalat sunnah qabliyah…namun karena jenis kedua shalat ini sama yaitu shalat sunat, waktunya juga sama, serta tata cara pelaksanaanya sama, maka walaupun hanya melaksanakan dua rakaat  asal dengan niat kedua shalat tersebut , ia telah meraih kedua pahalanya. Bahkan jika ia menggabungkan lebih dari dua shalat ,misalnya setelah wudhu ia ingin melakukan shalat sunat wudhu, shalat dhuha,  dan shalat taubat…maka ia mendapatkan semua pahala shalat ini cukup dengan dua rakaat.

Untuk lebih detailnya, silahkan membaca tulisan seputar ini dengan judul "BOLEHKAH MENGGABUNGKAN DUA NIAT PUASA ATAU LEBIH DALAM SATU HARI ??"  di link berikut: ( http://wahdah.or.id/bolehkah-menggabungkan-dua-niat-puasa-atau-lebih-dalam-satu-hari/ ).
Wallaahu a'lam.


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

Senin, 18 Juli 2016

Tanya Jawab: Memajang Foto di Sosial Media

PERTANYAAN
Afwan ustad, apa hukum memajang foto keluarga(foto selfie dll) dalam rumah???? apa pula hukum nya memposting foto keluarga (foto selfie dll) di media sosial seperti fb, bbm, line, instagram, path dll????
Muh.Ilham Arifuddin, Bone.

JAWABAN
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa foto (gambar makhluk hidup yang diambil lewat alat kamera) merupakan perkara kontemporer yang belum ada pada zaman dahulu, sehingga para ulama zaman kini berbeda pendapat dalam masalah ini, antara yang mengharamkannya dan membolehkannya.

Adapun kami maka lebih cenderung mengikuti pendapat yang membolehkannya, dan inilah pendapat mayoritas ulama zaman kini, diantara mereka:

1.Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahullah: (fatawa beliau: 1/149),, dan juga diikuti oleh banyak murid dan menantu-menantunya, diantaranya Syaikh Khalid Al-Mushlih.

2.Syaikh Dr.Wahbah Az-Zuhaili (Al-Fiqh Al-Islami: 4/2676), juga Syaikh Muhammad As-Sayis (Tafsir Aayaat Al-Ahkaam: 4/472).

3.Juga banyak ulama lainnya, bahkan kebanyakan ulama dan dai didunia islam membolehkan foto kamera ini. Tentunya dengan beberapa dalil:
-Bahwa foto ini bukanlah merupakan "shurah" dalam istilah syar'i juga secara bahasa, sebab yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah lukisan tangan.
-Bahwa foto ini hanyalah perpindahan bayangan makhluk bernyawa dan bukan "shurah" (gambar yang dilarang) dan ini tidaklah merupakan perbuatan yang ingin menandingi makhluk ciptaan Allah sebab yang ada difoto tersebut memang makhluk Allah ta'ala seratus persen, dan Dia tidak akan meminta untuk ditiupkan roh kedalamnya diakhirat kelak, sebab orangnya memang sudah memiliki ruh.

Walaupun boleh, namun seseorang harusnya melakukannya bila dibutuhkan dan ada maslahatnya saja, dan tidak terlalu bermudah-mudahan dalam masalah ini, dan juga tidak melampaui batas, sehingga akan berubah menjadi suatu perbuatan sia-sia yang minimal hukumnya adalah makruh.
Juga tidak boleh menggunakan foto ini untuk wasilah perbuatan haram, serta tidak boleh memfoto gambar wanita atau laki-laki yang memperlihatkan auratnya.

Terakhir, berkaitan dengan pertanyaan Anda, yaitu apakah foto kamera ini boleh dipajang didinding rumah atau tidak,atau bolehkan dipasang di media sosial ?? Para ulama yang berpendapat bolehnya foto ini berbeda dalam dua pendapat:

Pertama; Tidak boleh karena ia adalah gambar yang apabila dilihat Malaikat, maka ia tidak akan memasuki rumah tersebut. Sesuai hadis: "Para malaikat tidak akan masuk pada rumah yang didalamnya ada anjing, dan gambar/patung makhluk bernyawa". (HR Bukhari: 3225 dan Muslim: 2106).

Kedua: Hukumnya boleh, karena foto ini hukumnya boleh, adapun gambar yang menyebabkan Malaikat tidak bisa masuk rumah tersebut adalah patung atau gambar yang diharamkan berupa lukisan tangan. Adapun foto, maka ia boleh, sehingga malaikatpun bisa memasuki rumah yang ada fotonya karena ia bukan merupakan gambar yang dimaksudkan dalam hadis tersebut. Juga apabila malaikat bisa masuk kerumah Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam yang terdapat boneka mainan Aisyah berupa kuda bersayap dua, maka lebih bisa lagi memasuki rumah yang ada fotonya, karena foto lebih ringan dan lebih tidak menyerupai gambar dan patung, Wallaahu a'lam.

Pendapat ini juga disebutkan oleh Syaikh Khalid Al-Mushlih.
Pendapat yang kedua inilah yang lebih nampak benar dan yang kami ikuti, walaupun seseorang bisa saja memilih pendapat mana yang lebih kuat dan benar menurutnya, tanpa harus memaksakan pendapatnya ke orang lain, apalagi sampai menjadikannya sebagai sumber perpecahan dan perselisihan.

Hanya saja wajib diperhatikan untuk tidak memajang:

• 1. Foto wanita muslimah dewasa dengan wajah terbuka, karena para ulama yang tidak mewajibkan cadar pun melarang untuk memajang foto wanita muslimah ditempat umum.
• 2. Foto laki-laki atau wanita dengan aurat tersingkap
• 3. Foto yang 'kurang beradab' seperti dalam pose menghina, menjulurkan lidah, bergaya yang tidak pantas, atau lainnya.
Wallaahu a'lam


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

Tanya Jawab: Shalat Tarawih saat Safar

PERTANYAAN
Bismillah.
Ustadz, Saya ingin bertanya bagaimana pelaksanaan tarwih untuk seseorang yang dalam perjalanan jauh/musafir, dan bagaimana kriteria dikatakan sebagai seorang musafir, apakah ada batasan hari nya
syukron ustadz
Fulanah#Gorontalo

JAWABAN
Bismillah…
Menurut jumhur ulama, seseorang dianggap musafir bila telah menempuh jarak 2 sekitar 48 mil / sekitar 80 km atau lebih, baik safarnya dalam waktu satu jam ataupun lebih.
Adapun batasan hari safar yang dikategorikan sebagai safar bisa dilihat dalam perincian berikut:

• Bila anda dalam perjalanan safar, misalnya perjalanan dari Jakarta menuju Jayapura dengan kapal laut selama 6 hari, maka dalam perjalanan 6 hari ini anda terhitung sebagai musafir dan boleh melakukan berbagai keringanan terkait musafir seperti mengqashar atau menjamak shalat ataupun tidak puasa dll, karena anda sedang melakukan perjalanan.

• Bila dalam safar, anda singgah atau menetap disuatu tempat dengan niat kurang dari 4 hari maka anda masih terhitung musafir dan dibolehkan untuk melakukan berbagai keringanan terkait musafir seperti mengqashar atau menjamak shalat ataupun tidak puasa dll. Ini sesuai amalan Nabi shallallahu'alaihi wasallam yang melakukan keringanan safar tatkala berada di Kota Mekah dari tanggal 4 Dzulhijjah hingga tanggal 8 Dzulhijjah pagi (4 hari), karena pada hari ini beliau bertolak menuju Mina untuk amalan haji wada'.

• Bila dalam safar, anda singgah atau menetap disuatu tempat tanpa menentukan jumlah hari menetapnya anda ditempat tersebut karena perginya anda dari tempat tersebut tergantung pada lama tidaknya urusan yang anda urus selama safar tersebut, dalam kondisi ini maka anda terhitung sebagai musafir dan boleh mengambil berbagai keringanan terkait musafir seperti mengqashar atau menjamak shalat ataupun tidak puasa dll.
Hal ini dilakukan oleh Nabi shallallahu'alaihi wasallam dalam perang tabuk yang menetap disana selama belasan hari dan beliau tetap mengqashar shalat lantaran beliau belum tahu berapa lama berada disana.

• Adapun bila singgahnya anda ditempat tertentu sudah anda niatkan lebih dari 4 hari, maka anda tidak boleh mengambil hukum musafir, karena dalam kondisi ini anda disamakan dengan orang yang muqim atau menetap ditempat tersebut. (lihat: http://www.binbaz.org.sa/noor/7464)

Adapun pelaksanaan tarawih bagi seorang musafir, bila tidak memiliki kesulitan untuk  melaksanakan shalat tarawih maka sangat dianjurkan untuk ikut serta shalat tarawih baik berjamaah ataupun shalat sendiri lantaran banyaknya keutamaan atau fadhilah shalat tarawih sebagaimana yang kita semua ketahui bersama, dalam HR Bukhari Muslim Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam: "Barangsiapa yang melakukan qiyamullail pada malam-malam Ramadhan dengan penuh keimanan (keyakinan akan pahalanya), dan ihtisab/pengharapan (untuk mendapatkan pahala tersebut) maka dosa-dosanya yang berlalu diampuni".
Wallaahu a'lam.


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

Tanya Jawab: Tarawih Cepat, Sebaiknya di Rumah Saja?

PERTANYAAN
Assalaamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh
Afwan ustadz, saya ingin bertanya.
Di kampung saya kalo sholat baik wajib maupun sunnah itu cepat sekali ustadz, warganya juga belum mengenal sunnah, sperti masih melafalkan niat, dzikir dgn suara keras dll. Apakah sebaiknya ana sholat wajib/sunnah ( tarawih ) sendiri dirumah aja?
Mohon jawabannya Ustadz.
Muthohar#Toronglo

JAWABAN

Wa'alaikumussalam warahamtullaahi wabarakatuh,,
Bismillaah…
Praktek shalat masyarakat dengan melafalkan niat atau dzikir dengan keras bukan alasan bagi anda untuk meninggalkan shalat berjamaah di masjid, sebab mereka melakukan itu karena ikut-ikutan / taklid kepada ulama yang membolehkannya, sehingga anda tetap diwajibkan shalat berjamaah dengan mereka tentunya dengan tidak menyetujui praktek shalat mereka yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Namun yang perlu dijadikan pertimbangan adalah shalatnya mereka secara cepat. Bila cepatnya shalat mereka meninggalkan sikap thuma'ninah dalam shalat maka shalat mereka tidak sah, karena thuma'ninah merupakan salah satu rukun shalat yang apabila ditinggalkan maka akan membatalkan shalat. Batas thuma'ninah dalam sujud atau ruku' adalah sekedar membaca doa sujud atau doa ruku' satu kali saja, atau batas thuma'ninah dalam surat Al-Fatihah adalah bacaan alfatihahnya jelas dan sesuai tajwid secara umum, meskipun cepat.

Bila shalat mereka tetap thuma'ninah meskipun cepat maka shalatlah bersama mereka, karena shalat mereka sah, tapi tentunya anda harus mencari cara agar bisa terus menasehati mereka dan merubah kebiasaan shalat secara cepat karena ia merupakan adab yang buruk bila dilakukan setiap kali shalat. Namun bila shalat mereka tidak thuma'ninah maka tidak perlu shalat berjamaah dengan mereka, silahkan mencari masjid lain atau shalat sendiri karena shalat tanpa thuma'ninah tidaklah sah menurut kesepakatan seluruh ulama berdasarkan hadis Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam yang menyuruh ulang shalatnya orang yang tidak thuma'ninah, yaitu: " Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk Masjid, lalu ada seorang laki-laki masuk kemudian ia shalat. Kemudian orang itu datang dan memberi salam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab salamnya dan bersabda:“ Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat (dengan shalat yang sah)!” Lalu orang itu kembali dan mengulangi shalat seperti semula. Kemudian ia datang menghadap kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sambil memberi salam kepada beliau. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:" Wa'alaikas Salaam" Kemudian beliau bersabda:“ Kembali dan ulangilah shalatmu karena kamu belum shalat!” Sehingga ia mengulang sampai tiga kali. Maka laki-laki itu berkata:“ Demi Dzat yang mengutus anda dengan kebenaran, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari shalat seperti ini, maka ajarilah aku.” Beliau pun bersabda:“Jika kamu berdiri untuk shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat yang mudah dari Al Qur’an. Kemudian ruku'-lah hingga benar-benar thuma'ninah (tenang/mapan) dalam ruku', lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak (lurus), kemudian sujudlah sampai engkau thuma'ninah dalam sujud, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga thuma'ninah dalam keadaan dudukmu. Kemudian lakukanlah semua itu di seluruh shalat (rakaat) mu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Wallaahu a'lam.


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

Tanya Jawab: Kaffarah atas Sumpah Berkali-Kali atas Perkara Yang Sama

PERTANYAAN
Bismillah.
Kami ingin bertanya ustadz.
Jika melanggar sumpah berkali Kali, apa harus bayar khafaroh berkali Kali ?

JAWABAN
Bismillaah…
Pertanyaan Anda ini sudah dibahas dalam Tanya Ustadz Soal Ke-68, berikut kami posting kembali agar diingat dan bermanfaat:

Perlu diketahui bahwasanya Allah ta'ala tidaklah menyukai banyaknya sumpah manusia, sebab hal ini merupakan sarana untuk tidak memuliakan Allah ta'ala, bahkan bisa saja cenderung mempermainkan-Nya. Allah ta'ala telah mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya:

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ
Artinya: "Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi terhina". (QS Al-Qalam: 10).

Juga mengingatkan kita agar jangan banyak bersumpah serta jangan menyalahgunakannya:

وَلا تَجْعَلُوا اللَّهَ عُرْضَةً لأيْمَانِكُمْ أَنْ تَبَرُّوا وَتَتَّقُوا وَتُصْلِحُوا بَيْنَ النَّاسِ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: "Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan Mengadakan ishlah di antara manusia, dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui" (QS Al-Baqarah: 224).

Adapun hukum perkara yang anda tanyakan maka bisa dibagi menjadi dua:

• Pertama: Bila anda bersumpah beberapa kali atas suatu perkara, misalnya bersumpah sepuluh kali tidak ingin pergi ketempat tertentu (Wallaahi/Demi Allah saya tidak akan pergi ke pantai: 10 kali), lalu anda melanggarnya satu kali atau lebih; maka anda cukup membayar satu kaffarah sumpah saja, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhu dan banyak ulama tabiin.

Hanya saja problem lainnya adalah bila anda bersumpah untuk tidak pergi ketempat tersebut, lalu melanggarnya,, kemudian bersumpah lagi, lalu kemudian melanggarnya,, dan seterusnya berulang-ulang. Maka apakah bila anda belum membayar kaffarah disetiap melanggar tersebut, lalu ingin membayarnya; cukup membayar satu kaffarah saja karena jenis sumpah dan pelanggarannya sama? Ataukah masing-masing pelanggaran harus dihitung satu kaffarah sehingga bila ia dua kali melanggar dalam sumpah yang sama maka wajib membayar dua kaffarah??
Para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini, namun yang lebih mendekati kebenaran adalah bahwasanya setiap kali bersumpah lalu melanggar maka dihitung wajib satu kaffarah dengan dalil bahwa sumpahnya berkali-kali dan pelanggarannya juga berkali-kali, sehingga mestinya kaffarahnya juga sesuai dengan jumlah sumpah beserta pelanggarannya tersebut.

• Kedua: Bila sumpah tersebut atas beberapa perkara, misalnya bersumpah untuk tidak makan nasi, dan tidak minum susu, dengan mengatakan "Wallaahi (Demi Allah) saya tidak mau makan nasi dan tidak minum susu". maka bila melanggar salah satunya atau keduanya, anda wajib membayar satu kaffarah saja sesuai kesepakatan para ulama rahimahumullah.

• Ketiga: Namun bila perkara yang ia sumpahkan banyak yang masing-masing perkara tersebut disebutkan sumpah atasnya seperti: Wallaahi/Demi Allah saya tidak mau masuk kuliyah, Wallaahi/Demi Allah saya tidak mau makan bubur, Wallaahi/Demi Allah saya tidak mau masak. Jika anda melanggar satu dari tiga ini maka cukup membayar satu kaffarah, bila dua maka wajib membayar dua kaffarah, demikian pula bila melanggar tiga-tiganya maka wajib membayar tiga kaffarah. Ini juga sesuai kesepakatan para ulama rahimahumullah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni. (lihat: Al-Mughni: 9/514-515)


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

Tanya Jawab: Sikap terhadap Hadits Dha'if

PERTANYAAN
"Maaf ustad, jika itu hadist dhoif, mengapa harus mengutipnya?? kenapa tidak menjelaskan saja hakekat puasa yg salah satunya dapat menahan bencana???
Atau merujuk pada hadist lain yang semisal
Atau apakah boleh bersandar pada hadist dhoif, meski maknanya & kandungan nya benar??
Terimakasih atas penjelasannya, Wassalam"

JAWABAN
Bismillaahirrahmaanirrahiim…
Seharusnya Anda tidak bertanya kepada penulis sendiri, tetapi bertanyalah kepada para ulama islam dari abad ke abad: Ibnu Rajab dalam berbagai kitanya, Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawanya, Ibnu Hajar dalam Fathul-Barinya, An-Nawawi dalam berbagai kitabnya, Muhammad bin Abdul-Wahhab dalam Kitab Tauhidnya: kenapa mereka berani menukil hadis-hadis dhaif, dan tidak mencukupkan diri dengan hadis shahih ??

Wajib Anda ketahui: Para ulama rahimahumullah dari zaman ke zaman membolehkan seseorang menukil hadis dhaif dengan beberapa alasan:

1. Tidak adanya dalil suatu hadis dalam perkara yang mereka bahas, sehingga merekapun menukil hadis dhaif tentunya dengan menjelaskan bahwa sanadnya dhaif tapi mengandung makna yang benar dan jelas (sharih), karena didukung oleh makna ayat Al-Quran atau Hadis yang kurang jelas (ghairu sharih). Inilah yang penulis artikel ini lakukan dalam pembahasan ini.

2. Hadis dhaif disebutkan sebagai penguat atau pendukung makna ayat atau makna hadis yang lain. Ini banyak sekali terdapat dalam berbagai buku para ulama dari zaman ke zaman, utamanya buku-buku Fiqh dan Fadhilah Amal.

3. Menukil hadis dhaif untuk dijelaskan sisi dhaifnya, sebagaimana yang tertulis dalam berbagai buku-buku hadis-hadis dhaif.

4. Hadis dhaif itu tidak masuk dalam ranah amalan, tapi masuk dalam ranah fadhaail a'maal. Hadis yang penulis sebutkan pada artikel ini adalah diantara hadis "fadhaail a'maal" yang mana jumhur ahli hadis membolehkan penukilannya, bahkan membolehkan berdalil dengan hadis dhaif dalam fadhilah 'amal (Ini pembahasan rumit dan perbedaan pendapat besar dikalangan ahli hadis).
Namun perlu diperhatikan bahwa dalam menukil hadis dhaif hendaknya: Menjelaskan "dhaif"nya hadis tersebut, bila penulis menyebutkan suatu hadis dhaif tanpa menjelaskan bahwa ia dhaif maka salahkanlah ia, namun apabila ia menjelaskan bahwa hadis itu dhaif maka bersyukurlah kepada Allah karena dua sebab:

Pertama: Anda tahu bahwa hadis itu dhaif,
Kedua: Anda Tahu Bahwa Hadis Itu Bisa Diamalkan Atau Tidak.⁠⁠⁠⁠


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

Tanya Jawab: Sengaja Tidak Mengganti Puasa Ramadhan hingga Tiba Ramadhan Berikutnya

PERTANYAAN
Bismillah,
Afwan mau bertanya Ustadz,  ketika seorang wanita sengaja tidak mengganti puasanya hingga ramadhan datang kemudian dia bertobat apa yg harus dilakukan ustadz.
apa menqodha atau cukup dengan fidyah?
kamal#polman#BII45

JAWABAN
Bismillaah…
Laki-laki atau wanita yang sengaja tidak mengganti puasa Ramadhan yang ia tinggalkan tanpa alasan yang dibenarkan agama hingga tiba Ramadhan kedua, maka baginya:

• Pertama:
Wajib bertaubat kepada Allah ta'ala sebagaimana yang Anda sebutkan, karena sengaja meninggalkan puasa qadha adalah dosa besar, wajib dihapus dengan taubat nashuha atau yang sungguh-sungguh.

•Kedua:
Ia wajib bertekad mengqadha atau mengganti puasa tersebut karena ia merupakan kewajiban yang tidak akan terhapus kecuali dengan menggantinya.

• Ketiga:
Ia hanya diwajibkan qadha puasa tersebut dan tidak diwajibkan bayar fidyah. Dalilnya adalah:
•• 1. Bahwa Allah ta'ala tidak menyebutkan 'amalan' yang wajib dilakukan oleh orang yang tidak puasa Ramadhan kecuali 'qadha/puasa ganti' dan tidak menyebut 'fidyah'. Sebagaimana dalam ayat yang artinya: "Barangsiapa yang sakit atau berada dalam perjalanan (sehingga tidak sanggup puasa Ramadhan); maka (wajib menggantinya) pada beberapa hari yang lain (diluar Ramadhan)". (QS Al-Baqarah: 185). Pendapat ini juga dikuatkan oleh Imam Ibrahim An-Nakaha-i rahimahullah dan Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya (3/35).

•• 2. Juga karena hukum asal pada harta seorang mukmin adalah baraa-ah adz-dzimmah: artinya ia tidak dikenakan pembayaran apa-apa kecuali ada nash yang menyebutkan atau mewajibkannya. Sedangkan dalam permasalahan ini: tidak ada nash yang menyebutkan 'fidyah'.
Wallaahu a'lam.

Oleh karena itu: yang wajib baginya adalah mengganti puasa tersebut tanpa wajib membayar fidyah. Namun sebagian ulama –termasuk Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahullah- menyatakan: bila mengganti puasa sambil membayar fidyah maka itu lebih baik. (lihat Asy-Syarh Al-Mumti': 6/451)

Tata Cara Mengganti Puasa Qadha Jenis Ini:
Bila Ramadhan tersisa beberapa hari misalnya 5 hari sedangkan jumlah qadha puasa yang belum diganti adalah 10 hari, maka wajib bagi orang tersebut untuk berpuasa pada 5 hari yang tersisa ini karena ia adalah waktu wajib baginya untuk mengganti, adapun qadha puasanya yang tersisa 5 hari, maka ia wajib menggantinya setelah Ramadhan. Ini merupakan implementasi dari firman Allah yang artinya: "Maka bertaqwalah semampu kalian" (QS At-Taghabun: 16). Lima hari yang tersisa ini tidak mungkin menutupi 10 qadha puasa, namun seorang mukmin yang bertaubat kepada Allah harusnya bisa memaksimalkan ibadah semampunya, bila tidak mampu melakukannya sepenuhnya, maka hendaknya melakukan sebagiannya sesuai dengan kesanggupan tenaga, dan waktu yang ada pada dirinya, karena inilah implementasi dari ayat 'taqwa' diatas. 
Wallaahu a'lam.


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

Tanya Jawab: Pakaian Bermotif bagi Wanita Muslimah

PERTANYAAN
Bismillah,
afwan ustadz, kami ingin bertanya bolehkah akhwat menggunakan pakaian yang bermotif lalu digunakan keluar rumah?
Nur Annisaa#Kendar

JAWABAN
Bismillaah…
Motif pada pakaian yang biasanya berupa hiasan bunga / kembang atau lainnya; merupakan salah satu bentuk hiasan yang tidak boleh digunakan oleh wanita muslimah sebagai pakaian luar ketika keluar rumah atau ketika berada ditempat yang bisa dilihat laki-laki yang bukan mahramnya.

Dr. Riyadh Al-Musaimiri (Dosen Fakultas Universitas Muhammad bin Suud, Riyadh) berkata: "Pada dasarnya seorang wanita hendaknya keluar rumah dalam keadaan berhijab secara syar'i, yaitu pakaian longgar dan luas yang tidak menampakkan jasad dan lekuk tubuhnya, tidak pula merupakan pakaian berhias (bermotif) atau diberi wewangian. Adapun warna, maka tidak disyaratkan baginya untuk memakai warna tertentu, hanya saja ia harus menjauhi pakaian yang bisa menarik perhatian orang-orang dan membuat mereka terfitnah, sembari tetap memperhatikan adat kebiasaan yang berlaku dinegerinya, sebab kaidah ushul yang populer menyebutkan bahwa "Al-'Adah Muhakkamah" (atau "adat kebiasaan itu bisa menjadi dasar hukum")" (http://www.islamtoday.net/questions/...t.cfm?id=10011 )

Adapun bila motifnya hanya garis-garis biasa yang biasa terdapat pada pakaian, dan tidak dianggap sebagai hiasan menurut adat dan pandangan masyarakat, maka hukumnya boleh dipakai ketika keluar rumah, sesuai HR Bukhari (5823) dari Ummu Khalid, ia berkata: "Nabi datang dengan membawa beberapa Khamiishah (pakaian hitam kecil yang bergaris-garis warna lain). Beliau berkata : ”Menurut kalian, siapa yang pantas untuk memakai baju ini ?”. Semua diam. Beliau kemudian berkata: ”Panggil Ummu Khalid”. Maka Ummu Khalid pun datang dengan dipapah. Nabi mengambil pakaian tersebut dengan tangannya dan kemudian memakaikannya kepada Ummu Khalid seraya berkata: ”Pakailah ini sampai rusak”. Pakaian tersebut bermotif / dihiasi dengan warna lain berwarna hijau atau kuning."
(Untuk lebih memperluas wawasan seputar "warna pakaian muslimah yang boleh dan terlarang" silahkan men-download makalah sederhana penulis di ( www.wahdah.or.id/e-book-warna-pakaian-muslimah-dalam-perspektif-islam/ )
Wallaahu a'lam.


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

Tanya Jawab: Bolehkah Harga Cash dan Harga Kredit Berbeda?

PERTANYAAN
Assalamualaikum ustad.
Mohon penjelasannya.
Misalnya kita jualan dengan modal 1jt, kemudian kami jual dengan mengambil untung 100rb jadi kita jualan barang 1.1jt harga awal.
Kemudian jika pembayaran cash kami memberikan harga sama 1.1jt, tapi jika kredit kami berikan harga 1.5jt gimana hukumnya ustad apakah itu riba?
Mohon penjelasanya ustad jazakalloh khairan


JAWABAN
Wa'alaikumussalaam warohmatullahi wabarakatuh…
Pertanyaan Anda memiliki dua poin:

Pertama: Pengambilan keuntungan dengan nilai 100rb. Hal ini dibolehkan karena syariat islam sama sekali tidak menetapkan jumlah persen keuntungan dari barang jualan.  Akan tetapi alangkah baiknya memperhatikan kondisi masyarakat disekitar anda agar anda tidak mengangkat harga yang bisa membuat mereka kesulitan, sebab ini merupakan bentuk kebaikan dan tolong menolong dalam kebaikan. (Lihat: Fatwa Lajnah Daaimah KSA: 13/88).

Kedua: Beda harga antara cash dan kredit. Permasalahan ini merupakan salah satu yang diperselisihkan oleh para ulama, namun yang lebih benar adalah pendapat empat mazhab dan mayoritas ulama yaitu kebolehan menetapkan perbedaan harga antara harga cash dan kredit, dan bahwasanya hal ini tidak termasuk riba, tentunya dengan beberapa alasan diantaranya:

1. Keumuman firman Allah, artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275). Ayat ini mencakup semua jenis jual beli yang tidak ada larangannya dalam syariat, termasuk membedakan antara harga cash dan kredit, karena ia termasuk jual beli yang tidak ada larangannya, dan kaidah dalam muamalah: “Hukum asal semua bentuk muamalah adalah mubah (boleh), kecuali ada dalil yang mengharamkannya (melarang)”

2. Keumuman firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu….”. (Q.S An nisa: 29).
Ayat ini menunjukkan bahwa bila kedua belah pihak penjual dan pembeli telah sepakat dan rela dengan harga tertentu, maka akadnya sah, termasuk perbedaan antara jual beli cash dan kredit.

3. Hal ini bukanlah jual beli riba, karena ketika penjual menjual kredit maka ia ingin mengambil keuntungan lain dari waktu pembayaran yang tertunda tersebut, sedangkan pembeli rela untuk membeli secara kredit dengan tujuan agar ia diberi tenggang waktu untuk mencari uang pembayarannya dan ketidaksanggupannya membayar secara cash, sehingga keduanya sama-sama mengambil manfaat dari system kredit ini dan tidak ada yang dirugikan. (lihat: Fatawa Islamiyah:  2/331, dan https://islamqa.info/ar/13973).


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

Tanya Jawab: Bolehkah Memberi Donasi ke Yayasan Budha atau Non-Islam?

PERTANYAAN
Assalamu'alaikum Ustadz.
Saya bekerja di sebuah Perusahaan terkemuka nasional. Perusahaan tempat kami bekerja dalam kegiatan CSRnya bekerjasama dengan Yayasan Buddha. Kemudian setiap staff perusahaan dimasukkan sebagai anggota dan donatur dari yayasan tsb. Setiap tahun kita diminta membuat program kerja yg mencakup bidang Sosial, Pendidikan, Kesehatan dll. Kemudian membuat laporan ke yayasan pusat kegiatan setiap kali selesai kegiatan amal.
Pertanyaan saya : Bolehkah seorang muslim menjadi anggota dan donatur dari yayasan non muslim ? Pimpinan kami di daerah (beliau seorang muslim) selalu menekankan bahwa kita jangan melihat yayasannya, tetapi setiap amal tergantung niatnya. Yang penting niatnya menolong sesama manusia, ikhlas karena Allah. Apakah alasan tsb dapat dibenarkan ? Apakah amal kita diterima oleh Allah meskipun kita tahu bahwa kegiatan amal tsb atas nama yayasan non muslim ? Tetapi hati kami tetap tidak bisa menerima karena setiap kali mengadakan kegiatan amal selalu terpampang spanduk Yayasan Buddha. Saya takut kalau dianggap membantu syi'ar kaum kafir musuh Allah. Akhirnya saya nyatakan kepada atasan saya (muslim) bahwa saya berlepas diri dari semua kegiatan yayasan tsb dengan segala konsekwensinya. Mohon jawabannya Ustadz, ini menyangkut nasib ratusan, bahkan ribuan saudara2 muslim kita yg bekerja di perusahaan ini di seluruh Indonesia.
Syukron wa jazakallahu khoiron.
BudiPramularto#Banjarmasin

JAWABAN
Bismillaah…
Wa'alaikumussalaam warohmatullahi wabarakatuh …
Terima kasih telah mempercayakan Redaksi Tanya Jawab BII untuk menjawab pertanyaan Anda.
Harap dimaklumi bila jawaban ini sangat singkat karena satu dan lain hal, tetapi semoga dipahami, insyaa Allah.

Mengenai donasi ke yayasan kafir, maka bisa terbagi dalam dua hukum:

Hukum Pertama: Yayasan kafir tersebut merupakan yayasan sosial yang tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan amalan khusus agama mereka, seperti pembangunan tempat-tempat kesyirikan, atau digunakan untuk menyakiti dan memerangi umat islam. Maka ini hukum asalnya boleh, sesuai firman Allah ta'ala:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ . إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)

Dari ayat ini para ulama membolehkan berbuat baik termasuk memberikan sumbangan terhadap orang kafir atau yayasan mereka dengan syarat yaitu mereka tidak memerangi umat islam dan tidak memusuhi umat islam, atau menyakiti mereka, serta sumbangan tersebut tidak digunakan untuk hal yang kami sebutkan sebelumnya. (Dirujuk: Liqaa' Baab Maftuh- Al-'Utsaimin: 100/Soal. No.21).

Akan tetapi memberikannya pada seorang muslim atau yayasan islam tentunya lebih utama, karena mereka lebih berhak mendapatkan sumbangan dari anda, namun bila anda dipaksa memberikan sumbangan kepada selain muslim, maka relakan saja, semoga tetap bernilai pahala disisi Allah ta'ala karena merupakan bagian berbuat baik kepada seluruh manusia sesuai firman-Nya:

{وأحسنوا إن الله يحب المحسنين}
Artinya: "Dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan". (QS Al-Baqarah: 195).

Hukum Kedua; Adapun bila orang kafir atau yayasan tersebut jelas-jelas memusuhi islam atau menggunakan dana sumbangan tersebut untuk memperkuat agamanya secara khusus maka ini tidak dibolehkan, karena ini merupakan saling tolong menolong dalam dosa, dan sama saja membantu agama selain agama Allah ta'ala yang haq, sebagaimana hal ini dilarang oleh Allah:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: "…dan saling tolong menolong lah kalian dalam perkara kebaikan dan taqwa, dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya." (QS Al-Maaidah: 2).
Ketidakbolehan ini artinya haram, dan bila yayasan tersebut memang bergerak dalam bidang kesyirikan bukan pada bidang sosial secara umum, maka sikap anda berlepas diri darinya sudah benar, hanya saja harus ada usaha agar kalian tidak terus-menerus terjerat dalam dosa membantu menegakkan agama selain islam, Wallaahu a'lam.


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com

Tanya Jawab: Berpindah Posisi untuk Shalat Sunat

PERTANYAAN
Assalamualaikum
ustad saya ingin bertanya tentang sholat sunnah kobliyah/sesudah sholat wajib.
Sering saya jumpai dimasjid, ketika selesai melakukan jam'ah sholat fardu hampir kebanyakan orang melakukan sholat sunnah, tapi yang saya tidak mengerti kenapa mereka melakukan sholat itu selalu pindah posisi/tempat ia sholat fardu tadi.
Apakah itu ada dasarnya ustad?
Terimakasih mohon penjelasanx ustad
Selly#

JAWABAN
Wa'alaikumussalaam warohmatullahi wabarakatuh …
Yang Anda sebutkan dalam pertanyaan Anda merupakan perkara sunnah menurut sebagian ulama, yaitu sunnahnya berpindah / bergeser dari tempat shalat fardhu untuk melakukan shalat sunat. Kebanyakan dalil pendapat sunnahnya berpindah tempat ini dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah, namun ada beberapa hadis shahih yang menunjukkan hal tersebut, yaitu:
Juga hadis Mu'awiyah radhiyallahu'anhu:

أَنَّ نَافِعَ ابْنِ جُبَيْرٍ أَرْسَلَهُ إِلَى السَّائِبِ ابْنُ أُخْتِ نَمِرٍ يَسْأَلُهُ عَنْ شَيْءٍ رَآهُ مِنْهُ مُعَاوِيَةُ فِي الصَّلاَةِ فَقَالَ: نَعَمْ صَلَّيْتُ مَعَهُ الْجُمُعَةَ فِي الْمَقْصُورَةِ فَلَمَّا سَلَّمَ اْلإِمَامُ قُمْتُ فِي مَقَامِي فَصَلَّيْتُ فَلَمَّا دَخَلَ أَرْسَلَ إِلَيَّ فَقَالَ: لاَ تَعُدْ لِمَا فَعَلْتَ إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلاَ تَصِلْهَا بِصَلاَةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لاَ تُوْصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ.
Artinya: “Bahwa Nafi’ bin Jubair pernah mengutusnya menemui as-Saib, anak dari saudara perempuan Namr untuk menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang dilihatnya dari Mu’awiyah dalam shalat, maka dia menjawab, ‘Ya, aku pernah mengerjakan shalat Jum’at bersamanya di dalam maqshurah (suatu ruangan dalam masjid). Setelah imam mengucapkan salam, aku langsung berdiri di tempatku semula untuk kemudian mengerjakan shalat, sehingga ketika dia masuk, dia mengutus seseorang kepadaku seraya berkata, ‘Janganlah engkau mengulangi perbuatan itu lagi. Jika engkau telah mengerjakan shalat Jum’at, maka janganlah engkau menyambungnya dengan suatu shalat sehingga engkau berbicara atau keluar (dari tempatmu), karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal tersebut kepada kita, yaitu tidak menyambung shalat sehingga kita berbicara atau keluar.’ (HR Muslim).

Dalam Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim (6/171) Imam Nawawi menegaskan bahwa hadis ini sebagai dalil sunatnya berpindah tempat untuk melakukan shalat sunat sesuai lafaz "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal tersebut kepada kita, yaitu tidak menyambung shalat sehingga kita berbicara atau keluar.". Kata keluar disini memiliki makna berpindah tempat.
Juga adanya faktor lain yaitu agar memisahkan antara bentuk shalat fardhu dengan shalat sunat, juga agar banyak tempat sujud yang bersaksi tentang ibadah shalatnya diakhirat kelak, sebagaimana yang dinyatakan Imam Bukhari dan Imam Baghawai sesuai Surat Az-Zalzalah:

إذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا
وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا
وَقَالَ الْإِنسَانُ مَا لَهَا
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
1. apabila bumi di goncangkan dengan goncangan yang dahsyat
2. dan bumi telah mengeluarkan beban-beban beratnya
3. dan manusia berkata “ada apa denganya?”
4. pada hari itu bumi menyampaikan beritanya.
(lihat: Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim-Imam Nawawi: 6/171, Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah: 24/202, dan Nail Al-Awthar-Imam Syaukani: 3/235).
Inilah dalil yang Anda tanyakan, semoga dapat bermanfaat, Wallaahu a'lam.


✏Dijawab oleh Ustadz Maulana La Eda, Lc. -Hafizhahullah-
(Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Hadits, Universitas Islam Madinah)

Sumber: Grup WA "Belajar Islam Intensif"
www.belajarislamintensif.com