Blogger Widgets
..:: Galau?! Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang ::..

Kamis, 12 Mei 2016

Kepada Siapa Engkau Bersandar? (Jangan Salah Sandaran)

Sebuah Catatan Intisari Halaqah Akbar
Rabu, 4 Sya'ban 1437H/5 Mei 2016 di Perpustakaan Masjid BM 1 oleh Ustadz Muhammad Junaidi Sahal, M.Ag.

Alhamdulillah wa shalatu wassalamu 'ala rasulillah...

Diantara keistimewaan Rasulullah 
shallallahu 'alaihi wasallam, dari seluruh Rasul yang ada hanya beliau yang diizinkan melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya. Rasul-rasul Allah yang lain melihat Jibril dalam wujud yang bukan aslinya. Bahkan nabi Musa dan nabi Sulaiman tidak.. Dan itu terjadi hanya di dua peristiwa yaitu tatkala turun wahyu pertama di gua Hira dan ketika peristiwa Isra' Mi'raj. Dari dua itu, yang satu beliau melihatnya di bumi dan yang satu lagi di langit. Masyaallah.

Perjalanan Isra' Mi'raj Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari Masjidil Haram ke Masjidil 'Aqsha lalu ke Shidratul Muntaha dengan waktu semalam merupakan perjalanan yang spektakuler. Hingga saat ini belum ada ilmu sains yang bisa membuktikannya, semuanya masih berkisar teori. Karena dengan menggunakan kecepatan cahaya pun yang saat ini kecepatannya diketahui paling tinggi di alam raya ini, belum mampu mencapai bintang terdekat hanya dengan waktu semalam perjalanan. Apalagi ke Shidratul Muntaha.


Namun, ada yang menarik dari peristiwa luar biasa ini. Ayat al-Qur'an yang menceritakan tentang Isra' Mi'raj, hanya ada di dua tempat dalam al-Qur'an, yaitu di ayat pertama surah al-Isra' dan di awal-awal surah an-Najm. Di ayat pertama surah al-Isra' menceritakan perjalanan isra' Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Hal yang menarik adalah pada ayat pertama surah al-Isra' dimana huruf "bi" pada kata-kata "...bi'abdihi..." tidak diartikan dalam terjemahan Bahasa Indonesia. Perhatikan ayat pertama surah al-Isra' berikut:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Isra’ [17]: 1)

Disana ada kata
بِعَبْدِهِ yang menggunakan "bi" di awalnya. Penggunaan ...بِ dalam kaidah bahasa Arab jika diartikan dalam bahasa Indonesia bermakna menempel/melekat. Contoh pada بِسْمِ اللهِ atau باسم ربك , maka artinya ialah "Dengan nama Allah/Dengan nama Tuhanmu". Misalnya pada saat kita memulai suatu urusan lalu kita mengucapkan  بِسْمِ اللهِ maka kita memasukkan/menempelkan/melekatkan nama Allah pada urusan kita. Artinya kita menjadikan Allah sebagai sandaran urusan kita.

Maka begitupun dengan ayat pertama surah al-Isra' tadi. Sebenarnya disana ada "bi" yang berarti "dengan" yang dalam banyak terjemahan kata "dengan" ini tidak diartikan. Mungkin redaksional kalimatnya kurang bagus bila ditambahi dengan kata "dengan" sehingga terjemahan-terjemahan yang beredar tidak ada yang mencantumkan kata "dengan".
Nah, disinilah kerancuan itu terjadi sehingga orang-orang banyak yang berdebat karenanya. Memang benar bila dikatakan bahwa Bahasa Al-Qur'an tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain, termasuk Bahasa Indonesia. Karena pada bagian-bagian tertentu, ada kata dalam bahasa Arab yang tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa lain.

Pada kasus ini karena menggunakan kata
بِعَبْدِهِ yang didahului بِ maka sebenarnya bila diterjemahkan artinya ialah "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan dengan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha..."
Artinya apa? Jadi sebenarnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ditempelkan/dilekatkan kepada sesuatu. Apa itu? Yakni kekuatan Allah. Jadi beliau diperjalankan dengan perjalanan yang luar biasa itu semata-mata dengan kekuatan Allah. Kalau bahasa anak mudanya, Rasulullah kala itu 'nebeng' pada kekuatan Allah. Inilah makna penggunaan ...بِ pada kata بِعَبْدِهِ dalam ayat di atas.

Saat kita menggunakan pandangan atau dimensi kita untuk membayangkan kejadian ini tentu tidak akan masuk akal. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Namun jika kita menggunakan pandangan Allah maka ini sangat mudah saja terjadi. 
Sebagai perumpamaan, ada seekor semut di Surabaya. Tidak sengaja dia menempel di baju salah seorang warga Surabaya yang hendak berangkat ke Probolinggo. Maka, ia pun tanpa sengaja ikut ke Probolinggo pula. Setibanya disana, semut Surabaya ini ketemu dengan semut Probolinggo dan dia menceritakan kejadian yang dialaminya. Spontan semut Probolinggo ini tidak percaya. Kata semut Probolinggo ini, bagaimana mungkin perjalanan 3,5 tahun hanya kamu tempuh 3,5 jam saja?

Nah, dalam perumpamaan di atas, siapa yang keliru? Tidak ada. Karena semut Probolinggo menggunakan dimensi semut dalam melihat lama kejadian tersebut, yaitu 3,5 tahun. Sedangkan semut Surabaya menggunakan dimensi manusia, yaitu 3,5 jam.


Maka sekarang telah masuk akal jika kita gunakan kisah semut tadi sebagai analogi kisah Isra' Mi'raj Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang selesai dalam waktu kurang dari semalam.

Kembali ke judul, maka kalau kita bersandar pada Allah, nothing impossible. Jadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran, satu-satunya tempat yang engkau melekatkan dirimu, karena Dia-lah satu-satunya yang Kokoh tatkala sandaran-sandaran yang lain begitu mudahnya roboh atau dirobohkan. Sebagai implikasinya, maka tidak layak bagi kita bersandar pada manusia, kedudukan, harta, atau apapun itu selain-Nya. Karena semuanya hanya akan menimbulkan kekecewaan. Ya, karena kita akan ikut roboh tatkala sandaran-sandaran tersebut roboh.

{+} Plus-plus point:

Kita kuliah, kuliah bukan menjadi sandaran untuk menjadi sukses. Kuliah hanya salah satu ikhtiar kita untuk menjadi sukses. Sandaran kita tetap Allah.

Pensil ujian, jangan bersandar pada pensil ketika ujian. Sebagus dan sehitam apapun pensilnya. Karena pensil akan patah kalau disandari. Jadikan pertolongan Allah sebagai sandaran ketika ujian, dan ikhtiar dengan menggunakan pensil yang bagus dan belajar yang baik. *untuk yang ujiannya pake pensil :) *

Kalau kita bersandar dengan kekuatan manusia maka siap-siap kecewa.

Cara belajar Ustadz Junaidi:
Sebelum belajar, jangan tinggalkan membaca buku sebelumnya. Karena membaca buku terlebih dahulu sebelum guru menjelaskan materi akan lebih memudahkan otak kita dalam menerima pelajaran meskipun apa yang kita baca belum dapat kita pahami. Karena kalau sebelumnya kita membaca, sudah ada jejak-jejak awal dalam otak yang nanti jejak-jejak tersebut akan dikuatkan kembali ketika materi dijelaskan oleh guru. Maka ketika guru menjelaskan, istilahnya kita tinggal menyambung.

Wallahu a'lam bishawab.

_____

Surabaya, 5 Sya'ban 1437H/12 Mei 2016
Pagi hari yang berawan.



∞∞ ENTRI TERKAIԎ

1 komentar: