Blogger Widgets
..:: Galau?! Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang ::..

Minggu, 06 September 2015

Menonton TV itu Bahaya! [Sebuah Catatan di Zaman Edan]

Aktivitas menonton TV di sebagian besar masyarakat kita ibarat ‘makanan wajib’ yang mesti dikonsumsi setiap hari. Beraneka macam tayangan TV hadir untuk mengisi dan menyita waktu pemirsanya mulai dari pagi hingga pagi lagi, 24 jam non-stop, 7 hari seminggu, begitu seterusnya. Dari sekian banyak tayangan TV tersebut tidak sedikit yang menimbulkan masalah (baca: efek negatif) kepada pemirsanya. Meskipun tidak bisa pula kita katakan semuanya karena masih ada beberapa tayangan yang bermanfaat dan memberi informasi yang baik kepada kita. Namun setidaknya itulah yang terjadi saat sekarang dimana kita mengalami krisis tayangan-tayangan yang mendidik.  

Jika kita umpamakan, tayangan TV hampir-hampir mirip dengan yang namanya ‘jajanan’. Stasiun TV sebagai pedagang dan penontonnya sebagai konsumen. Sehingga itulah tayangan TV terkadang  menarik namun manfaatnya kurang dan terkadang pula sebaliknya, persis seperti jajanan. Terkadang menyehatkan, terkadang pula menyebabkan alergi bahkan keracunan. Uniknya, si pedagang (stasiun TV) tidak bisa menjual dagangannya hanya kepada orang yang tepat untuk mengonsumsinya. Jika ada yang membeli maka dijual, tidak penting siapa yang membelinya.

Sebagai pembeli alias penonton tayangan TV, kita sudah selayaknya selalu safety watching dan selektif dalam memilih tayangan TV. Saat ini kebanyakan stasiun TV tidak memerhatikan sisi edukatif programnya dan hanya memerhatikan sisi hiburannya saja. Baginya yang penting bisa meningkatkan rating dan mendapatkan keuntungan. Tidak masalah baginya meskipun isinya hanya komedi tidak karuan, sinetron yang menampilkan kehidupan yang hedonis dan glamour, perebutan harta warisan, perselingkuhan, pornografi,  anak SMP/SMA yang berpacar-pacaran ria bahkan dengan latar di lingkungan sekolahnya, dan sebagainya.  

Sayangnya dan cukup memilukan, tayangan-tayangan ini justru muncul di jam prime time. Ya, jam prime time (pukul 18.00-22.00) dimana kebanyakan anak-anak sekolahan, ibu-ibu rumah tangga, dan bapak-bapaknya rehat di depan TV melepas kepenatan setelah seharian beraktivitas. Jika yang disuguhi ialah tayangan seperti itu dan berlangsung secara terus menerus maka pola pikir orang yang menontonnya kita khawatirkan akan seperti yang ditontonnnya. Persis dengan makna pepatah yang terkenal “Ala bisa karena biasa” atau “Witing tresno jalaran soko kulino”. Dimana ujung-ujungnya mereka akan meniru-niru kebiasaan atau adegan-adegan dari apa yang dilihatnya di TV. Ditambah lagi lamanya waktu menonton TV bagi masyarakat Indonesia. Dari survei yang dilakukan Nielsen (salah satu perusahaan riset media) bahwa  dalam sehari penonton TV di Indonesia bisa menghabiskan 4,5 jam di depan TV. Porsi terbesar yang ditontonnya ialah sinetron sekitar 24% dan acara hiburan 20% (*Republika, 2013). Coba perhatikan, justru dari kedua jenis tayangan inilah yang paling banyak masalahnya!

Tayangan televisi sangat sangat berpeluang memengaruhi pola pikir dan perilaku orang yang menontonnya. Hal tersebut sudah menjadi kenyataan, bahkan menjadi bukti di depan wajah saya sendiri. Kala itu saya membantu mengajar di salah satu SD negeri di Surabaya Pusat. Kelas yang saya dampingi ialah kelas 3 yang baru saja naik dari kelas 2. Pada saat itu saya berkeliling kelas sambil mengecek pekerjaan para murid. Merupakan hal yang wajar bagi anak SD bila selalu bermain-main sama teman sebangkunya atau bermain di sekitar tempat duduknya. Apalagi kalau anak laki-laki. Namun ada satu anak laki-laki yang malah bermain di bangku murid perempuan dan terkesan mengganggunya. Letak bangkunya berjauhan. Namun, karena ditarik oleh murid laki-laki tadi atau bermain-main, si murid perempuan sampai berada di sekitar bangku laki-laki. Hingga ada teman dari anak laki-laki tersebut di sebelahnya teriak-teriak yang kalau tidak salah seperti ini “Itu pacarnya kak, itu pacarnya kak!”. Saya dalam hati agak bertanya-tanya, hingga tetap ku lanjutkan dulu mengecek catatan murid-murid yang lain.

Kemudian giliran anak tersebut untuk diperiksa pekerjaannya. Sambil memeriksa saya pun mencoba untuk bertanya tentang maksud teriakan temannya tadi. Dan kurang lebih seingat saya percakapannya seperti ini, “Dik, kamu punya pacar?” tanyaku. “Iya mas, dua (sambil menyebut namanya)” jawabnya. Saya tambah kaget, lha bocah seperti ini sudah pacar-pacaran sampai dua lagi. “Kok kamu udah pacaran?” tanyaku lagi ingin mengetahui lebih jauh. “Niru di tivi mas” jawabnya dengan polos. Sangat polos jawabannya, ‘hanya karena meniru di TV’!

Sedih saya mendengarnya. Anak sekecil itu sudah menjadi korban TV, korban sinetron. Sekali lagi ini nyata. Dan pasti lebih banyak lagi di luar sana anak-anak yang semisal dengan ini. Belum jika yang dia praktikkan dalam sinetron tersebut adalah adegannya, bisa tambah parah.
Sangat kita sesali, para ‘perusak bangsa’ melalui tayangan TV-nya itu berhasil meraup keuntungan banyak dengan merugikan masyarakat, merusak generasi penerus. Kita tidak menyalahkan sepenuhnya tayangan tersebut, karena peran orang tua, keluarga, dan lingkungan juga turut andil dalam membentuk perilaku seseorang. Bisa jadi juga orang tuanya yang lalai tidak memperhatikan anak-anaknya. Namun jika begini terus, mau sampai kapan kita disuguhi tayangan-tayangan seperti itu?

Amankan TV kita sekarang juga! Sebelum terlambat, pintu untuk memperbaiki ini semua tentu tidaklah tertutup. Masih ada jalan-jalan yang dapat kita tempuh sedikit demi sedikit.

Pertama, selektif memilih tayangan TV. Ini agak sulit karena berdasarkan selera masing-masing individu. Kita perlu mempertimbangkan positif negatif dari tayangan yang kita tonton. Jika kita adalah orang tua, maka sudah selayaknya memberi tontonan kepada anak dan anggota keluarga dengan tontonan yang bisa dijadikan tuntunan.

Kedua, mengadukan tayangan-tayangan TV yang bermasalah dan berpotensi merusak mental/psikologis. Tayangan-tayangan ini biasanya berisi lawakan-lawakan dengan mempertontonkan hinaan kepada seseorang, bergaya kebanci-bancian, joget-jogetan tidak jelas, sinetron-sinetron, dan masih banyak lagi. Aduan ini dapat disampaikan dalam bentuk SMS, telepon, atau email yang ditujukan ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Mengadukan tayangan bermasalah ini juga penting. Tahukah Anda bahwa acara YKS yang dulu menjadi tayangan dengan rating tertinggi dan tayang di jam prime time sukses dibubarkan karena banyak masyarakat yang mengadu? Jika kita merasa resah dengan tayangan bermasalah seperti itu segera diadukan. Jika banyak yang mengadu, program-program seperti itu bisa segera ditutup. Jangan menunggu KPI yang bertindak bahkan KPI yang menunggu kita!

Ketiga, cari aktivitas lain selain menonton TV. Nah, ini yang saya rasa agak mudah. Matikan TV kita sekarang juga! Kebanyakan orang-orang yang rajin menonton TV adalah orang yang tidak produktif terhadap waktunya. Masih banyak kegiatan positif lain yang bisa kita lakukan untuk menghabiskan waktu. Entah itu membaca, menulis, berolahraga, beribadah, melakukan pekerjaan rumah lain, dan banyak lagi yang itu semua lebih produktif daripada hanya melongo di depan TV. Mari kita hargai waktu, bahkan banyak orang yang ingin melakukan pekerjaan lagi, namun waktunya lah yang kurang.


Kota Pahlawan, 22 Ramadhan 1936 H 
(9/7/2015)

*Sumber: Republika, 2013 (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/06/mj82rm-masyarakat-indonesia-habiskan-197-jam-menonton-sinetron)

∞∞ ENTRI TERKAIԎ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar