Aktivitas menonton TV di sebagian besar masyarakat kita ibarat
‘makanan wajib’ yang mesti dikonsumsi setiap hari. Beraneka macam tayangan TV
hadir untuk mengisi dan menyita waktu pemirsanya mulai dari pagi hingga pagi
lagi, 24 jam non-stop, 7 hari seminggu, begitu seterusnya. Dari sekian banyak
tayangan TV tersebut tidak sedikit yang menimbulkan masalah (baca: efek
negatif) kepada pemirsanya. Meskipun tidak bisa pula kita katakan semuanya
karena masih ada beberapa tayangan yang bermanfaat dan memberi informasi yang
baik kepada kita. Namun setidaknya itulah yang terjadi saat sekarang dimana
kita mengalami krisis tayangan-tayangan yang mendidik.
Jika kita umpamakan, tayangan TV hampir-hampir mirip dengan yang
namanya ‘jajanan’. Stasiun TV sebagai pedagang dan penontonnya sebagai
konsumen. Sehingga itulah tayangan TV terkadang menarik namun manfaatnya
kurang dan terkadang pula sebaliknya, persis seperti jajanan. Terkadang
menyehatkan, terkadang pula menyebabkan alergi bahkan keracunan. Uniknya, si pedagang
(stasiun TV) tidak bisa menjual dagangannya hanya kepada orang yang tepat untuk
mengonsumsinya. Jika ada yang membeli maka dijual, tidak penting siapa yang
membelinya.
Sebagai pembeli alias penonton tayangan TV, kita sudah selayaknya
selalu safety watching dan
selektif dalam memilih tayangan TV. Saat ini kebanyakan stasiun TV tidak
memerhatikan sisi edukatif programnya dan hanya memerhatikan sisi hiburannya
saja. Baginya yang penting bisa meningkatkan rating dan mendapatkan keuntungan.
Tidak masalah baginya meskipun isinya hanya komedi tidak karuan, sinetron yang
menampilkan kehidupan yang hedonis dan glamour, perebutan harta warisan,
perselingkuhan, pornografi, anak SMP/SMA yang berpacar-pacaran ria bahkan
dengan latar di lingkungan sekolahnya, dan sebagainya.
Sayangnya dan cukup memilukan, tayangan-tayangan ini justru muncul
di jam prime time.
Ya, jam prime time (pukul
18.00-22.00) dimana kebanyakan anak-anak sekolahan, ibu-ibu rumah tangga, dan
bapak-bapaknya rehat di depan TV melepas kepenatan setelah seharian
beraktivitas. Jika yang disuguhi ialah tayangan seperti itu dan berlangsung
secara terus menerus maka pola pikir orang yang menontonnya kita khawatirkan
akan seperti yang ditontonnnya. Persis dengan makna pepatah yang terkenal “Ala
bisa karena biasa” atau “Witing tresno jalaran soko kulino”. Dimana
ujung-ujungnya mereka akan meniru-niru kebiasaan atau adegan-adegan dari apa
yang dilihatnya di TV. Ditambah lagi lamanya waktu menonton TV bagi masyarakat
Indonesia. Dari survei yang dilakukan Nielsen (salah satu perusahaan riset
media) bahwa dalam sehari penonton TV di Indonesia bisa menghabiskan 4,5
jam di depan TV. Porsi terbesar yang ditontonnya ialah sinetron sekitar 24% dan
acara hiburan 20% (*Republika, 2013). Coba perhatikan, justru dari kedua jenis
tayangan inilah yang paling banyak masalahnya!
Tayangan televisi sangat sangat berpeluang memengaruhi pola pikir
dan perilaku orang yang menontonnya. Hal tersebut sudah menjadi kenyataan,
bahkan menjadi bukti di depan wajah saya sendiri. Kala itu saya membantu
mengajar di salah satu SD negeri di Surabaya Pusat. Kelas yang saya dampingi
ialah kelas 3 yang baru saja naik dari kelas 2. Pada saat itu saya berkeliling
kelas sambil mengecek pekerjaan para murid. Merupakan hal yang wajar bagi anak SD
bila selalu bermain-main sama teman sebangkunya atau bermain di sekitar tempat
duduknya. Apalagi kalau anak laki-laki. Namun ada satu anak laki-laki yang
malah bermain di bangku murid perempuan dan terkesan mengganggunya. Letak
bangkunya berjauhan. Namun, karena ditarik oleh murid laki-laki tadi atau
bermain-main, si murid perempuan sampai berada di sekitar bangku laki-laki.
Hingga ada teman dari anak laki-laki tersebut di sebelahnya teriak-teriak yang
kalau tidak salah seperti ini “Itu pacarnya kak, itu pacarnya kak!”. Saya dalam
hati agak bertanya-tanya, hingga tetap ku lanjutkan dulu mengecek catatan
murid-murid yang lain.
Kemudian giliran anak tersebut untuk diperiksa pekerjaannya.
Sambil memeriksa saya pun mencoba untuk bertanya tentang maksud teriakan
temannya tadi. Dan kurang lebih seingat saya percakapannya seperti ini, “Dik,
kamu punya pacar?” tanyaku. “Iya mas, dua (sambil menyebut namanya)” jawabnya.
Saya tambah kaget, lha bocah seperti ini sudah pacar-pacaran sampai dua lagi.
“Kok kamu udah pacaran?” tanyaku lagi ingin mengetahui lebih jauh. “Niru di
tivi mas” jawabnya dengan polos. Sangat polos jawabannya, ‘hanya karena meniru
di TV’!
Sedih saya mendengarnya. Anak sekecil itu sudah menjadi korban TV,
korban sinetron. Sekali lagi ini nyata. Dan pasti lebih banyak lagi di luar
sana anak-anak yang semisal dengan ini. Belum jika yang dia praktikkan dalam
sinetron tersebut adalah adegannya, bisa tambah parah.
Sangat kita sesali, para ‘perusak bangsa’ melalui tayangan TV-nya
itu berhasil meraup keuntungan banyak dengan merugikan masyarakat, merusak
generasi penerus. Kita tidak menyalahkan sepenuhnya tayangan tersebut, karena
peran orang tua, keluarga, dan lingkungan juga turut andil dalam membentuk
perilaku seseorang. Bisa jadi juga orang tuanya yang lalai tidak memperhatikan
anak-anaknya. Namun jika begini terus, mau sampai kapan kita disuguhi
tayangan-tayangan seperti itu?
Amankan TV kita sekarang juga! Sebelum terlambat, pintu untuk
memperbaiki ini semua tentu tidaklah tertutup. Masih ada jalan-jalan yang dapat
kita tempuh sedikit demi sedikit.
Pertama, selektif memilih tayangan TV. Ini agak sulit karena
berdasarkan selera masing-masing individu. Kita perlu mempertimbangkan positif
negatif dari tayangan yang kita tonton. Jika kita adalah orang tua, maka sudah
selayaknya memberi tontonan kepada anak dan anggota keluarga dengan tontonan
yang bisa dijadikan tuntunan.
Kedua, mengadukan tayangan-tayangan TV yang bermasalah dan
berpotensi merusak mental/psikologis. Tayangan-tayangan ini biasanya berisi lawakan-lawakan
dengan mempertontonkan hinaan kepada seseorang, bergaya kebanci-bancian,
joget-jogetan tidak jelas, sinetron-sinetron, dan masih banyak lagi. Aduan ini
dapat disampaikan dalam bentuk SMS, telepon, atau email yang ditujukan ke KPI
(Komisi Penyiaran Indonesia). Mengadukan tayangan bermasalah ini juga penting.
Tahukah Anda bahwa acara YKS yang dulu menjadi tayangan dengan rating tertinggi
dan tayang di jam prime
time sukses dibubarkan karena banyak masyarakat yang mengadu?
Jika kita merasa resah dengan tayangan bermasalah seperti itu segera diadukan.
Jika banyak yang mengadu, program-program seperti itu bisa segera ditutup.
Jangan menunggu KPI yang bertindak bahkan KPI yang menunggu kita!
Ketiga, cari aktivitas lain selain menonton TV. Nah, ini yang saya
rasa agak mudah. Matikan TV kita sekarang juga! Kebanyakan orang-orang yang
rajin menonton TV adalah orang yang tidak produktif terhadap waktunya. Masih
banyak kegiatan positif lain yang bisa kita lakukan untuk menghabiskan waktu.
Entah itu membaca, menulis, berolahraga, beribadah, melakukan pekerjaan rumah
lain, dan banyak lagi yang itu semua lebih produktif daripada hanya melongo di
depan TV. Mari kita hargai waktu, bahkan banyak orang yang ingin melakukan
pekerjaan lagi, namun waktunya lah yang kurang.
Kota Pahlawan, 22 Ramadhan 1936 H
(9/7/2015)
*Sumber: Republika, 2013
(http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/06/mj82rm-masyarakat-indonesia-habiskan-197-jam-menonton-sinetron)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar